–Catatan
ARTAWIJAYA–
Jejak kelam Syiah dalam sejarah runtuhnya kekhilafahan
Islam menjadi pelajaran penting, bahwa mereka adalah para pengkhianat yang
menikam kaum Muslimin dan meruntuhkan kekuasaan Islam.
**
Baghdad baru saja ditaklukkan oleh
pasukan Tartar. Pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan situs-situs peradaban
Islam diluluhlantakkan. Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu Khan dari ras
Mongolia itu berhasil menaklukkan salah satu kota yang menjadi simbol gemilangnya
peradaban Islam pada 656 Hijriyah.
Sejarah menceritakan, sungai di
Baghdad yang jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan jutaan buku
yang ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi pasukan kafir
tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah Abbasiyah yang
dikenal sebagai salah satu pusat peradaban Islam.
Mengenai keruntuhan Baghdad dan
penyerangan pasukan Tartar, sejarawan Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah
ini dalam bukunya “Qishah At-Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm.
129-170). Sedangkan sejarawan lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi
menceritakan dengan apik dalam bukunya “Al-Moghul Baina Al-Intisyar wa
Al-Inkisyar” (hlm.310-312).
Kedua sejarawan tersebut sangat
mumpuni dalam bidangnya, karena di samping sebagai sejarawan (mu’arrikh),
mereka juga ahli hadits (muhaddits), yang bisa memilah mana kisah-kisah
palsu dan mana yang mu’tabar.
Kejatuhan Daulah Abbasiyah ke tangan
pasukan Tartar tak lepas dari pengkhianatan tokoh Syiah Rafidhah bernama
Alauddin Ibnu Alqami. Dalam keterangan lain, kejatuhan Baghdad karena adanya
konspirasi antara pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah yang mempunyai
hasrat menjatuhkan pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian menggantikannya
dengan Daulah Fathimiyah.
Ia diangkat sebagai perdana menteri
oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Namun Ibnu Alqani memendam hasrat untuk
merampas kekhilafahan Abbasiyah agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu
Alqani berkorespondensi dengan pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan
kafir tersebut masuk dan menyerang kota Baghdad.
Ibnu Katsir menceritakan, “Ibnu
Alqani menulis surat kepada pasukan Tartar yang intinya mendukung mereka
menguasai Baghdad dan siap melicinkan jalan bagi mereka (Tartar). Ia
membeberkan kepada mereka kondisi terakhir Khilafah Abbasiyah, termasuk
kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua tiada lain karena pada tahun tersebut
ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah, Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran
sesat Syiah Rafidhah berkembang pesat. Khalifah diambil oleh Dinasti
Fathimiyah, para ulama dan mufti Islam musnah.” (Lihat: Al-Bidayah wa
An-Nihayah, XIII/202).
Baghdad berhasil takluk. Khalifah
Al-Mu’tashim Billah wafat terbunuh pada 14 Shafar 656 H/1258 M. Pembunuhan
Al-Mu’tashim tak lepas dari pengkhianatan Ibnu Alqani dan Nashiruddin
Ath-Thusi, yang menjalin hubungan dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan itu
mengakibatkan banyaknya ulama yang terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid yang
hancur, perpustakaan sebagai gudang ilmu luluh lantak, dan kekejaman lainnya
yang luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah. Kaum Muslimin
ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal kenangan.
Setelah berhasil menaklukkan
Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu
Khan kemudian bergerak menuju Syam, wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Islam
pada masa itu. Mereka melakukan invasi dengan menyeberangi sungai Furat dan
mengepung pintu masuk Syam selama tujuh hari.
Pengepungan berhasil, bangsa Tartar kemudian
masuk menyerbu kota. Sejarawan Ali Muhammad Ash-Shalabi mengatakan, Aleppo
(halb) adalah kota pertama yang menjadi tujuan penaklukan Hulagu dan
pasukannya, yang ketika itu dipimpin oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah,
wakil dari Malik An-Nashir.
Sebelum memasuki Aleppo, sebagaimana
kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa agar tunduk dan menyerah.
Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah
dengan mengatakan, “Tidak ada yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali
pedang…!”
Hulagu Khan kemudian mengirim
panglimanya yang bernama Katabgha untuk menaklukkan kota Damaskus pada akhir
bulan Rajab, tahun 658 Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan,
hingga akhirnya Damaskus yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo,
berhasil tunduk pada kekuasaan Tartar.
Negeri Syam yang dikenal sebagai
tanah yang berkah, saat itu terkotori dengan ulah pasukan Tartar. Kemenangan
pasukan Tartar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Nasrani untuk mendekati
Hulagu Khan. Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan umat Nasrani menyiarkan
agamanya.
Setelah mendapat persetujuan, umat
Nasrani berkeliling kota mengangkat salib-salib mereka di atas kepala, sambil
berteriak mengatakan, “Agama yang benar adalah agama Al-Masih..” Mereka
mengarak salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa para penduduk
untuk berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu mengangkat seorang
pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan, pemimpin yang dikenal sangat
melindungi kaum Nasrani.
Kota Damaskus dan Aleppo berhasil
ditaklukkan. Kota yang bersejarah dan menyimpan peradaban Islam itu harus
menyerah pada kekuatan pasukan Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh
bangsa Tartar karena pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka di antara faktor yang
melemahkan semangat jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah
pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah.
Melalui para pemimpinnya, mereka
berusaha merapat pada Hulagu Khan, dengan iming-iming yang ditawarkan pada
pimpinan pasukan Tartar itu berupa harta milik kaum Muslimin yang berhasil
dilumpuhkan. Di antara pemimpin Syiah yang berkhianat terhadap umat Islam
adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin Yusuf bin Muhammad Al-Kanji. Imam Ibnu
Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini dalam buku monumentalnya, Al-Bidayah
wa An-Nihayah, dengan menulis, “Ia adalah tokoh Syiah yang telah membujuk
bangsa Tartar dengan harta kaum Muslimin. Ia sosok berhati busuk,
orientalistik, dan meminta bantuan mereka (Tartar) dengan harta kaum Muslimin…”
Dr Imad Ali Abdus Sami Husain dalam
bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah Al-Islamiyah”
menceritakan bahwa ketika pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo pada 658
Hijriyah, merampas dan mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota itu,
pimpinan Syiah yang bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan
Hulagu Khan dan meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak
mengobarkan api perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut
Padahal Ketika itu, Raja An-Nashir
yang berasal dari kalangan Islam sudah berkirim surat kepada Raja Al-Mughits di
Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di Mesir untuk mengirimkan bala bantuan kepada kaum
Muslimin di Aleppo. Namun sayang, kondisi mereka yang ketika itu juga dalam
keadaan lemah, tidak mampu memenuhi permintaan Raja An-Nashir.
Sikap pemimpin Syiah Nushairiyah,
Zainuddin Al-Hafizhi, memantik kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin Baybars
Al-Bunduqdari. Ia begitu marah kepada pemimpin Syiah itu, kemudian memukulnya
sambil mengatakan, “Kalianlah penyebab kehancuran kaum Muslimin!” Baybars
adalah tokoh pejuang Muslim asal Kazakhstan yang kemudian berjihad melawan
bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan wafat di Damaskus. Namanya begitu dikenal
sebagai pahlawan Islam yang cukup ditakuti dan disegani musuh. (Mausu’ah At-Tarikh
Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman: Dar Usamah li An-Nasyr, 2003, hlm.
24-36).
Seorang ulama bernama Taqiyuddin
Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa
disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berjuluk hujjatul Islam, termasuk
orang yang berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana
kelompok Syiah Nushairiyah berkhianat terhadap kaum Muslimin.
Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu
persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan bahwa mereka
adalah kaum kafir dan non-Muslim yang harus diperangi. Ketika orang-orang
Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu Taimiyah dengan lantang mengatakan,”Jangan
kalian serahkan benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata saja, karena
benteng ini adalah untuk kepentingan kaum Muslimin. Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla telah menjaga benteng ini untuk kaum Muslimin, sebagai perisai
bagi penduduk Syam yang menjadi pusat iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam
Alaihissalam turun di sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin
yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil
dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian
dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah
dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo,
Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut.
Timur Lenk membunuh kaum Muslimin dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut
Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808
Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai
penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasaannya, Syiah banyak
terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat: Tarikh
Alawiyyin, hlm. 407).
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke
tangan kaum Muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik
Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan Tartar
dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina. Perang yang berlangsung
pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil memukul mundul pasukan
Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang menyebar ke beberapa wilayah.
Pasukan yang dipimpin oleh
Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari
sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada
pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta kaum Muslimin. Dengan
kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari
Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para
budak) kemudian menggabungkan negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya
semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah
Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai
penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”.
Buku yang diberi kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr Raghib
As-Sirjani ini menulis, “Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang
dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini
Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa
pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir,
Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013,
hlm.478).
Dari keterangan di atas, jelaslah
bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah,
Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap
umat Islam di Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para
pemimpin Islam. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk
Baitul Maqdis, semasa berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah
Rafidhah, baik pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin
mereka. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah
yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin
Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait
Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258).
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha
menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Prancis dan
Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung.
Jumlah mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap
diskriminasi umat Islam yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh
Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani
nota kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal
Attaturk pada tahun 1920.
Nota kesepahamaman ini tentu saja
bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah
Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya,
Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan
Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu
mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah
tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah akan memposisikan
mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah yang kemudian terus
terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai pengkhianatan
terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuh Islam. Padahal
sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan
sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah
yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman
terhadap kaum Muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Prancis,
Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh
Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Prancis, yang di antaranya
ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad. Surat tersebut
berisi permohonan agar Prancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena
mereka khawatir, jika Perancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat
tersebut berbunyi:
“Presiden Prancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang
mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan
pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan
masyarakat Muslim, dalam hal keyakinan, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka
tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana
penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak
mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa
bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang
Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan
kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah
mengambil sesuatu pun dengan paksa. Namun demikian, kaum Muslimin menyerukan
“Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Prancis
di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa
yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan
kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih
tunduk pada ruh feodalisme agama kaum Muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang
diwakili oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah
Prancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan
masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti
mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang
telah memberikan pelayanan besar untuk Prancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang membujuk Prancis untuk tetap menjamin dan
mendukung keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad
(kakek Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha
Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab
As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu
Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66).
Pada saat ini, keberadaan rezim
Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah
Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai
kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka
merebut kekuasaan dari kaum Muslimin. Mereka yang hidup minoritas di Suriah,
kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer
“Hizbullah” yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive,
serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim
Bashar Al-Asad.
Dimana pun, kelompok minoritas akan
selalu waspada, struggle, dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan
eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan
kekuasaan yang sudah sejak tahun 1970-an mereka pegang.
Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan
mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat yang tak
bisa hidup berdampingan dengan kaum Muslimin, selama akidah mereka melecehkan
para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaannya,
Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk berkhianat, bahkan
bersekongkol dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di
Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”
*Penulis adalah Editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir, Jakarta
(sumber: salamonline.com)