“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu…,” (QS at-Takatsur).
“Waspada dirimu dari kemewahan,
kerena sesungguhnya para hamba Allah bukanlah orang-orang yang mewah,” (HR
Ahmad).
Bagi kaum Muslimin, negeri Andalusia
adalah sepenggal kenangan yang selalu hinggap dalam ingatan. Kenangan tentang
betapa kaum Muslimin dan risalah Islam yang dibawanya, pernah menguasai sebuah
wilayah di benua Eropa selama kurang lebih 800 tahun atau 8 abad lamanya.
Sebuah rentang waktu yang cukup lama, dan meninggalkan kesan yang cukup
mendalam.
Andalusia, negeri indah dan eksotis,
tunduk dalam pemerintahan Islam dari tahun 92 H/711 M hingga 797 H/1492 M.
Kekhilafahan Islam dan dinasti-dinasti kaum Muslimin, berhasil mengubah wilayah
di daratan Eropa itu menjadi simbol kegemilangan peradaban dan kekuatan kaum
Muslimin. Umat Islam mengisinya dengan tinta emas kejayaan dan keunggulan
peradaban.
Ketika wilayah Andalusia, yang saat
ini terletak di Spanyol dan sebagian kecil Portugal, berada di bawah kekuasaan
Islam, jejak-jejak kecermelangan peradaban mereka menjadi rujukan
bangsa-bangsa Eropa.
Bangunan-bangunan dengan estetika
dan kemegahan tegak berdiri. Ilmu pengetahuan dan penelitian berkembang pesat.
Para sejarawan yang meneliti negeri Andalusia banyak menceritakan bagaimana
umat Islam yang berdiam di wilayah itu berhasil memberikan sumbangsih bagi
peradaban dan ilmu pengetahuan ke segala penjuru Eropa.
Jika hari ini kita mengenal
kota-kota indah seperti Barcelona, Madrid, Valencia, Sevilla, Granada, Malaga,
Cordova, dan sebagainya yang hari ini tersohor sebagai basis klub-klub sepak
bola ternama serta menjadi tujuan wisata dunia, maka ketahuilah bahwa pada masa
lalu kota-kota tersebut dihuni oleh kaum Muslimin, dan berada di bawah
pemerintahan Islam.
Namun kejayaan selama kurang lebih
delapan abad lamanya itu, harus berakhir dengan kenangan yang memilukan, ketika
Kerajaan Granada yang dipimpin oleh Abu Abdillah Muhammad Ash-Shagir dari Bani
Al-Ahmar, berhasil ditaklukkan oleh aliansi kerajaan- Kristen di Andalusia.
Granada jatuh ke Tangan Kristen pada 1492 M, diiringi dengan derai airmata sang
penguasa Muslim.
Sambil memandang Istana Al-Hambra
yang megah dari atas bukit, Abu Abdillah bin Muhammad sang penguasa Granada,
berlinang air mata. Sang ibu, Aisyah Al-Hurrah, yang berdiri di sampingnya
mengatakan, “Kini kau menangis seperti seorang perempuan, padahal kau tak
pernah melakukan perlawanan sebagaimana seorang lelaki sejati…”
Apa yang menjadi penyebab runtuhnya
kekuasaan Islam di Andalusia?
Sejawaran Mesir Dr Raghib As-Sirjani
dalam bukunya berjudul “Qishah Al-Andalus” (Kisah Andalusia) menjelaskan,
setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan kejayaan Islam di negeri
Andalusia runtuh dan hanya menyisakan kenangan yang pahit dan kepedihan.
Ketiga faktor tersebut adalah: (1)
Gaya hidup yang mewah dan glamour dari para pemimpin Islam. (2) Sibuk dengan
urusan dunia dan meninggalkan semangat jihad. (3) Merebaknya berbagai
kemaksiatan dan kemungkaran yang dibiarkan.
Terkait dengan sikap hidup
bermewah-mewahan dan godaan duniawi pada masa kekuasaan Islam di Andalusia itu,
Dr Raghib As-Sirjani mengatakan,”Ini merupakan faktor yang amat penting, yakni
godaan duniawi terhadap pemeritahan Muwahidun dengan banyaknya harta yang
mereka miliki. Inilah yang kemudian mendorong mereka bergaya hidup mewah,
berfoya-foya, dan saling berseteru memperebutkan kekuasaan…”
Dr Raghib As-Sirjani melanjutkan,
“Tenggelam dalam kemewahan, cenderung pada kesenangan nafsu duniawi, dan
bergelimang dalam kenikmatan-kenikmatan sementara. Inilah faktor utama yang
mengantarkan kekuasaan Islam pada akhir yang sangat menyakitkan. Masa-masa
keterpurukan dan kejatuhan sering terkait dengan banyaknya harta, tenggelam
dalam kesenangan-kesenangan, rusaknya generasi muda, dan peyimpangan besar pada
tujuan…”
Mereka yang bergelimang dalam
kehidupan yang gemerlap dan terjerembab dengan gaya hidup yang mewah, hatinya
akan mudah dilalaikan dari mengingat Allah, semangat juangnya akan semakin
melemah, dan jiwanya menjadi pengecut.
Karena itu, ahli hikmah mengatakan,
“Keberanian tidak akan didapati pada orang yang mencintai dunia!”
Dunia memang melalaikan dan membuat
para pemujanya menjadi alpa. Harga diri dan gengsi diukur dengan penampilan
yang parlente dan dandy, banyaknya uang, barang-barang yang mewah, dan harta
yang berharga. Jika semua kemewahan dunia itu tak ada, maka orang yang
mencintai dunia merasa hidupnya tak berharga dan bergengsi. Harga dirinya tak
melambung tinggi, dan lobi-lobi kekuasaanya tak dihargai.
Identitas Islam yang seharunya
menjadi ‘pakaian’ yang menutup rapat tubuhnya berganti menjadi benda-benda yang
melambangkan kemewahan. Penyakit al-wahn; cinta dunia dan benci mati (hubbud
dun-ya wa karahiyatul maut) menjadi penyakit ganas yang bisa melumpuhkan
kekuatan umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan dalam berbagai firman-Nya:
“Dan jika Kami hendak membinasakan
suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri
itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (QS Al-Israa’: 16).
“Dan janganlah kamu tujukan
pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa
golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan di dunia, agar Kami uji mereka
dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal,” (QS
Thaha: 131).
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad)
bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia,” (QS Al-Kahfi: 28).
“Mereka mengambil harta benda dunia
yang rendah ini dan berkata, ‘Kami akan diberi ampun’,” (QS Al-A’raf: 169).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pun telah mengingatkan, bahwa bergelimangnya harta dan bermewah-mewahan
dalam hidup adalah sumber bagi kelalaian. Beliau yang mulia, sosok yang hidup
dalam kesederhanaan dan kebersahajaan mengatakan:
“Maka demi Allah, bukanlah kefakiran
yang aku takutkan dari kalian. Tetapi yang aku takutkan adalah jika dunia
dibentangkan untuk kalian, sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang
sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba mengejarnya, sebagaimana
orang-orang sebelum kalian mengejarnya. Hingga akhirnya, (harta itu)
membinasakan kalian seperti ia telah membinasakan mereka,”(HR Bukhari dan
Muslim).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Apabila kalian
telah berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah mulai mengambil
ekor-ekor sapi (kiasan bagi mereka yang sibuk dengan urusan dunia), lalu kalian
telah ridha dengan bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah
akan menimpakan kehinaan atas kalian yang tidak akan dicabutnya hingga kalian
kembali kepada ajaran ((ad-Din) kalian,” (HR Abu Dawud, 2462. Dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah).
“Sesungguhnya hal yang paling aku
khawatirkan pada kalian sepeninggalku adalah apa yang akan dibukakan untuk
kalian dari keindahan dan perhiasan dunia,” (HR Al-Bukhari).
Demikianlah, kemewahan dunia bisa
membuai dan menjerumuskan manusia pada kelalaian, kelemahan dan kehancuran.
Bahkan para sahabat pun pernah diuji dengan gelimang harta saat terjadi Perang
Uhud, dimana pasukan pemanah yang harusnya bertahan, turun ke bawah
memperebutkan harta ghanimah (rampasan perang).
Ketika
mereka sibuk dengan harta tersebut, pasukan musuh menghabisi mereka secara
membabi buta. Allah mengingatkan peristiwa ini dalam firman-Nya, “Di antara
kalian ada yang menginginkan dunia, dan di antara kalian ada yang menginginkan
akhirat…,” (QS Ali Imran:152).
Runtuhnya Andalusia menjadi
pelajaran penting, bahwa kekuasaan sehebat apapun, jika ia terjerumus dalam
gemerlap kemewahan dunia yang melalaikan, akan berakhir dengan kenistaan.
Jika 800 tahun lamanya kekuasaan
Islam di Andalusia bisa runtuh dan beralih menjadi imperium Kristen, maka
bagaimana dengan Indonesia? Berhati hatilah…! (Artawijaya/salam-online.com)