Oleh: Kholili Hasib
PROGAM Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (25/06/2013) bertajuk “Syiah Diusir, Negara Kemana?” meninggalkan banyak catatan. Pertama, tema "Syiah Diusir, Negara Kemana" telah menunjukkan TV One berada dalam posisi kelompok Syiah. Kedua, tak adanya banyak perwakillan Sunni yang sejak lama keberatan ulah Syiah yang dinilai menyakiti perasaannya (baca; mayoritas NU). Karenanya, agak aneh saja jika acara ini justru dirasakan menjadi ajang pembelaan tokoh-tokoh Syiah. Sementara perasaan dan hak kaum mayoritas (Sunni-NU) justru diabaikan.
Fokus Persoalan
Sudut pandang menilai kasus Syiah di Sampang harus terfokus pada akar persoalan. Bahwa kasus ini murni karena dipicu dakwah pelecehan Shahabat Nabi. M. Nur, mantan pengikut Tajul Muluk –pemimpin Syiah Sampang-- memberi kesaksian, “Sejak 2008 Tajul mulai menyampaikan khutbah Jumat bahwa rukun Islam ada 8, rukun iman ada 5, khalifah Nabi Muhammad bukan Abu Bakar, Abu Bakar dikatakan merampok dari Ali”. Demikian seperti dalam release laporan tim BASRA (Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura) yang pernah berdialog dengan Tajul Muluk.
Berkaitan dengan itu, PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur pada Oktober 2012 mengirim peneliti yaitu HM. Shiddiq Abdurrahman untuk investigasi lapangan. Hasil investigasi PWNU di antaranya menyimpulkan bahwa ada indikasi kuat kejadian bentrokan telah disekenario sejak awal oleh Syiah. Menurut laporan PWNU yang dimuat majalah AULA edisi Oktober 2012, bahwa sekenario bentrok telah dipersiapkan di kota Malang. Mereka melanggar kesepakatan bahwa anak-anak Syiah mau dibina di pesantren Ahlus Sunnah, agar mereka tidak terjerak ajaran sesat. Berikut sebagian hasil investigasi PWNU Jawa Timur:
“Kala itu terjadi perdebatan sengit ketika ada rombongan anak-anak Syiah yang mau balik pondok. Para santri mempertanyakan keseriusan Pemkab Sampang untuk memondokkan mereka. Demikian juga mereka menolak tidak berangkat ke Bangil lantaran terikat aturan pesantren yang mengharuskan para santri untuk segera ke pondok. Pada saat bersamaan, penduduk bersikukuh untuk melarang rombongan meneruskan perjalanan lantaran sudah terikat kesepakatan bahwa anak-anak tersebut akan modok di pesantren Ahlus Sunnah bukan Syiah dengan biaya Pemkab.
Para penduduk yang awalnya mencegat, ikut mengawal minibus yang membawa anak-anak Syiah tersebut karena khawatir rombongan hanya pura-pura pulang, namun tetap berusaha berangkat dengan cara diam-diam. Saat akan memasuki kediaman Tajul inilah, ada seseorang Syiah yang membuat garis di jalan sambil mengingatkan dengan suara keras: “Polisi dan para penguntit dilarang masuk. Kalau sampai melewati garis, akan mati”.
Dari arah pesantren Tajul Muluk, ternyata ada sekelompok orang berseragam serba hitam dengan senjata tajam terhunus di tangan. Dan benar adanya, begitu ada penduduk yang melewati garis, ternyata terjadi ledakan dan beberapa benda keras beterbangan. Sebagian penduduk terluka, termasuk dalam hal ini Kapolsek Omben. Suasana pun berubah liar, kedua belah pihak saling lempar batu.
Dengan siap siaganya beberapa orang yang bereseragam hitam dan menghunus senjata tajam, serta adanya bahan peledak di area kediaman Tajul Muluk, kuat indikasi bahwa kejadian tersebut sudah disekenariokan sejak awal. Bahkan ada kabar bahwa kondisi ini sudah dimusyawarahkan di Malang, meskipun kebenarannya perlu diungkap.
Para penduduk yang sejak awal memang tidak mempersiapkan diri untuk bertarung akhirnya terdesak. Terpaksa mereka mundur ke perkampungan, menghindar serangan warga Syiah. Dalam situasi terdesak, ada sebagian penduduk menggunakan pengeras suara milik Masjid.
Dari speaker disampaikan kesediaan masyarakat sekitar untuk membantuk menghadapi serangan pengikut Tajul Muluk. Gayung pun bersambut. Terjadilah saling serang antar dua kubu”.
Dari laporan tersebut, sesungguhnya ada pelanggaran kesepakatan dari pihak Syiah. Jika saja, pengikut Tajul Muluk memenuhi kesepakatan dan menerima persyaratan damai dengan cara tidak akan menyebarkan ajaran pelecehan, pasti tidak akan terjadi bentrok.
Dari hasil kajian, beberapa pihak terkait melakukan upaya-upaya penyelesaian. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah aliran Syiah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur.
Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antar sesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain.
Pembinaan Penganut Agama
Berdasarkan hal itu, Pemkot Sampang pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk mengirim ke pondok pesantren Ahlus Sunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka Sampang akan terus membara lagi kelak.
Upaya-upaya aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih besar lagi.
Yang harus kita cerna baik-baik, bahwa kekerasan membabi buta adalah kriminil tapi bukan berarti Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap penistaan agama. Terhadap aliran sesat, Islam memiliki aturan yang adil. Memang ada perintah bersikap ramah namun diperintah pula bersikap tegas. Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah merobohkan masjid Dhirar yang dibangun oleh Abu ‘Amir Ar-Rahib.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus bertindak tegas, sebab masjid Dhirar dibangun dengan tujuan untuk menghasut umat Islam, membela kaum kafir dan berefek memecah belah para sahabat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirim beberapa orang untuk meruntuhkan masjid itu menjelang kedatangan beliau di Madinah.
Peristiwa itu direkam dalam al-Qur’an: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (QS. al-Taubah: 107-108).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin membiarkan penyimpangan itu yang bisa mamantik perpecahan umat Islam. Pertimbangannya dua hal penting; Abu ‘Amir Ar-Rahib berpotensi melakukan penyesatan massal dan memancing permusuhan.
Yahudi bani Quinuqa’ dan bani Nadzir pernah diusir oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah. Gara-garanya, mereka mengkhianati perjanjian. Bahkan, beberapa orang Yahudi dari bani Quraidzah dieksekusi karena ganasnya mereka memusuhi dan mengancam fisik para sahabat. Kecuali wanita dan anak-anak, mereka dilindungi dan diperlakukan dengan lembut (Sirah Ibn Hisyam jilid 3).
Berbuat baik dan bersikap bijak terhadap non-muslim atau penganut kepercayaan yang berbeda, tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap disebut dakwah Islam, tapi bukan bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama, penistaan atau pencampur adukkan agama atas nama toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan.
Dalam konteks Negara Indonesia, ajaran-ajaran ekstrim Syiah yang melecehkan Shahabat serta gerak dakwah politik Syiah harus jadi catatan pemerintah. Perlu ada penelusuruan lebih dalam lagi. Apalagi terdapat laporan tentang sayap militant Syiah. H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah mengatakan bahwa terdapat jaringan militansi Syiah. Dalam tulisannya berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia”, di www.nuonline.com pada 30/5/2011, As’ad berpendapat bahwa terdapat jaringan yang berupaya membuat lembaga bernama Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran. Pemicunya adalah, doktrin kemutlakan imamah berdasarkan politik.
Maka dapat disimpulkan bahwa ajaran pelecehan terhadap kesucian agama-lah yang sesungguhnya memicu konflik sosial. Ajaran seperti ini jika dibiarkan memperkeruh keamanan masyarakat, karena penodaan agama hakikatnya melanggar Hak Asasi Manusia. Pelecehan terhadap agama hakikatnya pelecehan terhadap hak manusia. Sebab, hak manusia yang paling asasi adalah hak untuk menjaga agamanya. Jika kesucian agama dihujat, maka telah terjadi pelanggaran hak asasi yang berat. Pelecehan agama bukan domain toleransi lagi, sebab toleransi adalah menghormati tanpa mencaci-maki. Jika konsep toleransi ‘dibumbui’ caci maki Shahabat, maka ini toleransi yang ilusi alias rancu.*
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya
(sumber: hidayatullah.com)