Acara Indonesia Lawyer Club Jadi Panggung Syiah


(An-najah) – Semalam, tepatnya Selasa (26/06), TV-One menayangkan acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang mengusung tema, “Syiah Diusir, Negara Kemana?” Acara yang berlangsung selama kurang lebih empat jam dari mulai pukul 19.30 hingga 23.30 ini menyoal pemindahan (relokasi) yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Sampang kepada para pengungsi Sampang pada Kamis (20/06) lalu.
Acara yang dipandu oleh Karni Ilyas itu, menghadirkan sejumlah tokoh syiah di Indonesia diantaranya Haidar Bagir (Pemilik Penerbit Mizan), Ahmad Hidayat (Sekretaris Jendral Ahlul Bait Indonesia), Syafiq Basri (Wartawan Tempo), Mujtahid Hashem (Direktur Voice of Palestine) dan Muhsin Labib (Direktur Penerbit Al-Huda/Citra). Hadir juga sejumlah pemuda syiah Sampang yang melakukan aksi gowes sepeda onthel dari Surabaya ke Jakarta.

Pada kesempatan itu hadir beberapa ulama Madura yang diwakili oleh KH Ahmad Dhofir dan KH Dja’far Shodiq yang hanya dikasih kesempatan terbatas. Sayangnya, beberapa ormas Islam yang terkait permasalahan seperti LPPI, MIUMI, MUI Jawa Timur dan beberapa tokoh Jawa Timur tidak dihadirkan.
Ada beberapa catatan mengenai acara ILC tadi malam yang barangkali perlu diungkap, antara lain: Pertama, judul acara yang subyektif. TV-One mengusung tema “Syiah Diusir, Negara Kemana?” Hal ini jelas meninggalkan kesan adanya upaya advokasi dan pembelaan terhadap syiah. Taruhlah memang ada korban jiwa yang jatuh saat tragedi Sampang Agustus 2012 lalu, tapi akar masalah sebenarnya justru tidak diungkap pada acara tersebut.
Kedua, Karni Ilyas berulang kali mengatakan, “Kita tidak akan membahas perbedaan ajaran antara Sunni dan Syiah!” Padahal, tak bisa dipungkiri amukan massa warga Sampang saat itu dilandasi perbedaan ajaran Syiah yang dibawa Tajul Muluk ke Sampang. Perbedaan keyakinan ini menurut warga setempat yang berbasis Nahdlatul Ulama ini mengganggu ketentraman warga sekitar karena adzannya berbeda, sholatnya berbeda, tatacara agamanya beda tapi mengaku Islam.
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) pernah mengadakan suatu penelitian lapangan saat kasus Sampang meletus yang kedua kalinya pada Agustus 2012. Pada penelitian tersebut mengungkapkan fakta bahwa upaya rekonsiliasi antara Tajul Muluk dan warga sampang sudah dilakukan sejak 2004. Namun, Tajul Muluk beberapa kali telah melanggar kesepakatan untuk tidak menyebarkan ajarannya secara sporadis di Sampang. Manusia punya batasnya masing-masing. Kekerasan yang terjadi di Sampang bukanlah insiden yang kebetulan terjadi, tapi memang ada provokasi dari kedua belah pihak. Sampai saat ini, tidak ada pihak media mainstream yang memberitakan bahwa di kampung-kampung syiah di Sampang sudah dipasangi bom ikan sebagai ranjau dan akibatnya beberapa warga menjadi korban, bahkan hingga ada salah satunya yang diamputasi kakinya. Ini sebenarnya pertanda bahwa kelompok Tajul Muluk sudah melakukan persiapan untuk berperang.
Yang menarik, semalam KH. Ahmad Dhofir mengeluarkan pernyataan bahwa apa yang terjadi di Sampang hampir sama dengan yang terjadi di Suriah. Beliau mengatakan, “Syiah di Suriah jumlahnya tak sampai 10% namun bisa berkuasa” dan membantai muslim Sunni disana. Begitu juga Syiah di Sampang ini, mereka jumlahnya minoritas, tapi ngeyel untuk melaksanakan ajarannya di tempat itu dan menolak relokasi. Kengeyelan warga syiah di Sampang bisa terlihat jelas di layar televisi ketika para Kyai Madura sedang berbicara, juru bicara pengungsi Sampang tampak cengengesan di belakang mejanya.
Catatan yang ketiga, pembagian waktu yang tidak adil dan tidak sama besarnya antara pihak syiah dan ulama Madura. Banyaknya kesempatan yang diberikan kepada kelompok syiah menjadikan acara ILC malam tadi terlihat sebagai “panggung syiah”. Selain alokasi waktu, pemotongan pembicaraan menuju jeda iklan juga memperlihatkan framing (pembingkaian isu) yang dilakukan Karni Ilyas jelas mengarah kemana.
Keempat, salah seorang tokoh syiah Haidar Bagir mengutarakan pernyataan pada kesempatan itu bahwa menurutnya apa yang terjadi di Sampang adalah akibat gerakan takfiri transnasional. Haidar Bagir berupaya mengalihkan isu pada Takfirisme dan ideologi impor. Padahal, yang mengusir Tajul Muluk dan Syiah sampang itu adalah warga Sampang, Madura. Mereka adalah warga Nahdlatul Ulama yang selalu mengedepankan kultur lokal bukan kelompok Takfiri ataupun ideologi transnasional.
Haidar Bagir lupa bahwa dalam syiah ada doktrin nashibi, yaitu suatu doktrin yang diajarkan dalam kitab-kitab syiah yang mengajarkan bahwa siapapun yang berada di luar kelompok syiah itu kafir. Mereka menghalalkan darah dan harta para nashibi. Dalam kitab ‘Wasail Syiah’, Al-mahasin Nafsaniyah dan Kitab Al-Ilal disitu diterangkan bahwa oarang-orang yang bukan syiah boleh dirampas hartanya, ditumpahkan darahnya karena mereka adalah kafir. Syiah Imamiyah Itsna Atsariyah sendiri bukanlah ideologi yang berasal dari Indonesia, mereka datang dari tanah Persia. Negeri para Mullah, Iran. Jadi siapa yang takfir dan transnasional?
Kasus Sampang dalam tinjauan Muslim
Lantas bagaimana kita, sebagai ahlu sunnah memandang kasus Sampang? Pada dasarnya, kita sebagai muslim memandang bahwa segala bentuk kekerasan apalagi pembunuhan terhadap sesama muslim adalah hal yang bertentangan dengan syariat. Syariat memang membolehkan adanya jihad dan qital tetapi pelaksanaannya tunduk pada aturan-aturan tertentu.
Syiah, terutama Syiah Imamiyah Itsna Atsariyah yang berkembang dari Iran dengan segala penyimpangannya jelas telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya menurut para ulama yang disepakati kaum muslimin di seluruh dunia. Namun, perlakuan zalim terhadap orang syiah di Sampang seperti pembakaran, pengrusakan hingga jatuhnya korban jiwa tetap tidak bisa ditolerir. Apalagi, saat ini kita berada di dalam koridor wilayah hukum negara.
Kita menyesalkan adanya pembakaran dan jatuhnya korban jiwa, pelakunya jelas harus ditangkap dan diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Para pengungsi yang saat ini sudah berada di Rusun Puspo Agro Sidoarjo juga selayaknya diberikan penanganan yang tepat oleh pemerintah. Namun, upaya penyelesaian konflik antara kedua belah pihak juga seyogyanya harus dipatuhi.
Orang Madura dikenal mempunyai watak yang keras dan teguh pada prinsipnya, penyebaran ajaran syiah yang sporadis di lingkungan ahlu sunnah jelas mendapat respon penolakan yang sangat keras dari warga disana. Oleh karena itu, kepada para penganut keyakinan apapun alirannya, silahkan menganut apapun kepercayaan anda, tapi jangan rusak dan pengaruhi lingkungan yang ada dengan ajaran yang anda bawa. Wallahu a’lam.*
—–
Oleh: Hilal Sulaeman, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Program Studi Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Share this with short URL: