SEJARAH PEMBUKUAN TAFSIR

PENDAHULUAN

Qur'an memiliki sejarahnya sendiri. Ia diturunkan kepada Muhammad saw, dihayati oleh umatnya. Dalam waktu kurang dari dua dasawarsa setelah meninggalnya Rasulullah saw, ketika mereka yang pernah langsung mendengarkan serta menuliskan ucapan-ucapan beliau masih hidup, ayat-ayat Qur'an dikumpulkan dan dibukukan dalam suatu bentuk yang resmi. Penafsiran akan al-Qur'an pun dibutuhkan sebagai refleksi dari keinginan untuk mendapatkan sebuah petunjuk. Bermula dari tradisi oral hadist-hadist Rasul kemudian pandangan para sahabat, penerusnya dan murid-murid para penerusnyai.
Pada edisi revisi ini, pemakalah sengaja menambahkan bagan sebagai penjelas dari apa yang ada dalam makalah serta menambahkan hal-hal yang sekiranya perlu ditambahkan. Akhirnya semoga dengan makalah yang sedikit ini, mari kita bersama-sama meninggikan kalimah Allah. Wa kalimatullah hiya al-‘ulya


PEMBAHASAN

Menurut adz-Dzahabi, perkembangan penafsiran al-Qur’an terbagi menjadi dua periode. Periode pertama dinamai dengan periode periwayatan.
Diantara para sahabat yang menjadi mufassir terkenal ternyata hanya sedikit saja. Di antara mereka adalah Khalifah yang empat, Ibnu Mas'ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah bin al-Zubairii.
Pada masa Tabi'in terdapat sekelompok ulama yang menaruh perhatian khusus terhadap Tafsir. Mereka meriwayatkan tafsir yang berasal dari nabi dan sahabat. Di samping itu dengan fikiran dan ijtihad, mereka juga menafsirkan kata-kata pelik yang semakin banyak jumlahnya karena semakin jauh dari masa Rasulullah maupun masa sahabatnya. Kemudian datang generasi berikutnya yang meriwayatkan tafsir dari tabi'in dan juga menafsirkannya. Demikianlah tafsir berkembang terus dari generasi ke generasi. Generasi yang datang belakangan meriwayatkan tafsir dari generasi sebelumnya sampai datangnya periode pembukuan (marhalatut tadwin).

Periode Pembukuan
Periode ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2 Hijriyah. Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda-beda.

Tahap pertama
Pada tahap pertama, pembukuan tafsir dilakukan secara bersama-sama dengan pembukuan hadist. Hadist dibukukan dengan beberapa bab dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab tersebut. Bahkan dikatakan bahwa hampir seluruh himpunan hadist yang banyak sekali jumlahnya dan tersusun menurut materinya pasti memuat bab tafsir al-Qur’an, yakni sekumpulan kabar yang keluar dari Rasulullah saw dalam menafsirkan al-Quran.iii
Ketika itu belum ada tulisan khusus yang berisi tafsir al-Qur'an baik surat demi surat ataupun ayat demi ayat. Namun pada kurun waktu tersebut terdapat sejumlah ulama yang bertugas mengunjungi berbagai wilayah untuk mengumpulkan hadist, dan di antara mereka juga terdapat ulama yang mengumpulkan tafsir yang diyakini bersumber dari Rasulullah saw, dari sahabat ataupun dari tabi'in. Di antara mereka yang tersebut belakangan adalah Yazid bin Harun as-Salmi (w: 117 H), Syu'bah bin Hajjaj (w: 160 H) dan Sufyan bin 'Uyainah (w: 198 H). Ketiga orang ulama ini adalah ahli-ahli hadist yang menjadikan tafsir sebagai salah satu bab dalam kitab hadist, dan tidak membukukannya secara terpisah sebagai kitab tersendiri.iv
Tahap kedua
Pada tahap kedua ini tafsir dipisahkan dari hadist sehingga merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Setiap ayat al-Qur'an diberi tafsiran dan dibukukan menurut urutannya dalam mushaf (tartib mushafi). Pembukuan seperti ini selesai dilakukan oleh sejumlah ulama, antara lain Ibnu Majah (w: 273 H), Ibnu Jarir at-Thobary (w: 310 H) dan Ibnu Hatim (w: 327 H). Semua tafsir ini mereka tulis berdasarkan pertautan periwayatan (isnad) kepada Rasulullah, sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in; dan sebagian besar yang dimuat dalam tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil-ma'tsur. Kecuali Ibnu Jarir at-Thobary yang dalam tafsirnya menyebutkan berbagai pendapat yang kemudian diperbandingkan dan dinilai kebenarannya. Dia juga membahas i'rab (analisa bahasa Arab berdasarkan fungsi katanaya) di mana perlu mengemukakan kesimpulan hukum (istimbath) yang bisa ditarik dari suatu teks (nash) al-Qur'an.
Sistem isnad memang bermula sejak zaman Rasulullah yang kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad I hijriyah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat dalam transmisi hadist di kalangan mereka.
Pada dasa masa keempat kalender Islam ungkapan-ungkapan yang belum sempurna dirasa penting karena munculnya fitnah yang melanda pada saat itu (pemberontakan terhadap khalifah Utsman. Ibnu Sirin (w.110 H), misalnya mengatakan, “Para ilmuwan (pada mulanya) tidak mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai meluas mereka menuntut, ‘sebutkan nama orang kalian pada kami’. Bagi yang termasuk ahli sunnah, hadist mereka terima, sedang yang tergolong tukang mengada-ada, hadist mereka dicampakkan ke pinggiran.”v

Tahap ketiga
Pada tahap ini tafsir belum keluar dari garis tafsir bil-ma'tsur. Akan tetapi berbeda dengan keadaan sebelumnya yang dilengkapi dengan penulisan sanad secara lengkap, pada tahap ini para ulama menghilangkan sanad tersebut. Mereka meriwayatkan tafsir dari para mufassir sebelumnya tanpa menyebutkan nama mufassir yang dimaksud. Setiap orang yang mengatakan sesuatu atau terbetik di hatinya sesuatu yang diyakini kemudian perkara itu diambil oleh orang yang datang setelahnya dengan mengira bahwa itu adalah ashli tanpa melihat dari mana perkara itu diambil.vi Sehingga sejak saat itu tafsir mulai dipalsukan dan sulit untuk dilacak kebenarannya dan ketidakbenarannya. Tahap ini merupakan permulaan munculnya pemasukan dan perembesan dongeng-dongeng israiliyyat ke dalam tafsir.
Keinginan agar hadist lebih fokus pada matan serta mudah untuk dipahami masyarakat yaitu dengan menghilangkan sanadnya sehingga terlihat ringkas, namun ternyata penghilangan sanad inilah penyebab yang paling berbahaya diantara sebab-sebab pemalsuan. Karena dengan dihilangkannya sanad ini akan menjadikan orang yang melihat sebuah kitab, cenderung menganggap shohih semua yang ada di dalamnya.vii
Bahkan ada diantara mufassir yang concern dengan tafsir model itu (mengambil dari kisah-kisah israiliyat) adalah Muqatil bin Sulaiman (w.150 H) yang karakter dan kredibilitasnya juga banyak diberitakan, bahwa “pengetahuannya tentang al-Qur’an bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Dia menjadikan (ajaran) al-Qur’an sejalan dengan apa yang ada dalam kedua kitab tersebut.viii

Tahap keempat
Pada tahap ini tafsir melangkah lebih luas lagi, kalau dulu tafsir hanya membatasi diripada periwayatan tafsir dari para ulama salaf, maka tafsir pada tahap ini menggabungkan tafsir bir-ra'yi (tafsir 'aqli, rasional) dengan tafsir naqli, melalui beberapa tahap yang menarik. Pertama dengan usaha-usaha penafsiran secara perorangan dan memperbandingkan pendapat-pendapat tersebut satu sama lain dan menguji kebenaran penafsiran masing-masing. Usaha penafsiran secara rasional tersebut masih dibenarkan selama aspek pemikirannya masih berpijak pada aturan-aturan kebahasaan yang berlaku dan pada makna konotatif dari kata-kata yang disebutkan di dalam al-Qur'an.ix
Kegiatan penafsiran semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria inilah yang diharamkan Ibn Taimiyah, bahkan Imam ibn Hanbal menyatakannya sebagai 'tidak berdasar'x, sebagai hasil dari pemahaman hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara marfu’:
من قال القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النارxi
Atau hadist Jundub yang diriwayatkan secara marfu’ juga:
من قال فى القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأxii
Sebaliknya keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an dengan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu'tabarah.
Sebagian ulama’ mensyaratkan bagi penafsir jenis ini (bi ra’yi) sejumlah ilmu yang harus dikuasai. Diantaranya adalah bahasa arab: dari nahwu, syorof, isytiqaq, lughah, balaghah, qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nashikh mansukh, hadist-hadist penjelas ayat-ayat al-Qur’an, fiqih dan terakhir: ilmu mauhibahxiii.xiv Adz-Dzahabi menambahkan satu syarat lagi yaitu ilmu qishash (sejarah).xv
Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari sifat kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang berbuat dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah swt.xvi Sebagaiman firmanNya:
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku) xvii (QS. Al-A’raf: 146)
Kegiatan-kegiatan rasionalistik ini berkembang terus sejalan dengan semakin berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan, pendapat dan isme, sehingga akhirnya terdapat penulis-penulis tafsir yang mengumpulkan berbagai macam hal yang tidak berkaitan dengan tafsir itu sendiri.
Ilmu-ilmu bahasa, nahwu dan sharaf dibukukan dan banyak buku filsafat diterjemahkan. Berbagai buku tentang bermacam-macam madzhab fiqih dan 'aqidah juga ditulis orang. Fanatisme kepada madzhab sangat kuat, pada saat itu setiap kelompok muslim berusaha menyebarluaskan aliran madzhabnya masing-masing dan berusaha mencari pengikut. Semuanya ini mengakibatkan tercampur aduknya berbagai macam ilmu pengetahuan berikut pembahasan-pembahasannya masing-masing dengan tafsir, dan bahkan mendesak tafsir tersebut. Aspek 'aqli dalam tafsir mengalahkan aspek naqlinya sehingga ia merupakan bagian yang paling dominan dalam buku-buku tafsir tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar mengemukakan tafsir berdasarkan asbabun-nuzul atau sumber-sumber tafsir bil ma'tsurxviii.
Akhirnya kita melihat bahwa keahlian seseorang dalam disiplin ilmu tertentu secara eksplisit lebih mewarnai tafsir yang ditulisnya. Para ahli nahwu lebih menekankan pada masalah i’rob dan memberikan uraian yang panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan cabang-cabang ilmu tersebut.xix Para ahli sejarah banyak mengemukakan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dalam tafsir mereka, tetapi-tambah adz-Dzahabi-mereka sering mencampuradukkan antara fakta-fakta sejarah dengan dongeng-dongeng yang tidak masuk akal.xx
Di antara tafsir yang berorientasi pada filsafat, yang paling terkenal adalah at-Tafsir Mahir atau lebih dikenal Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi.xxi Yang berorientasi pada kesufian, terwakili oleh Gharaibul Qur'an wa Raghaibul Furqan oleh an-Nisaburi (728/1327) dan Tafsir al-Qur'an Karim oleh Muhyidin ibn 'Arabi.xxii
Pendek kata setiap ahli dalam bidang kajian tertentu atau pendukung madzhab tertentu merasa terpanggil untuk menulis tafsir sesuai dengan bidangnya masing-masing atau untuk mengukuhkan madzhab mereka.xxiii
Begitu juga ketika periode ini banyak sekali ulama-ulama yang berusaha membatasi bidang kajian mereka dalam tafsir ini. Mereka membahas salah satu aspek tertentu saja dari banyak aspek lainnya, misalnya Ibnu al-Qayyim dengan aqsamnya, Abu Ubaidah dengan majaznya, Abu Ja’far an-Nuhas dengan nasikh mansukhnya dan Abu Hasan al-Wahidi dengan asbabun nuzulnya. Di samping itu banyak sekali ulama-ulama yang mencoba menulis tafsir tentang aspek-aspek tertentu dari al-Qur’an dan berusaha mengkajinya dengan cara yang sangat cermat.xxiv
Kecenderungan rasionalistik dalam penulisan tafsir ini berkembang terus dari masa ke masa. Bahkan pada zaman modern sekarang ini dengan anggapan bahwa hal itu seakan-akan merupakan salah satu aspek dari kumu'jizatan al-Qur'an dan bukti elastisitasnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Padahal dalam kenyataannya hal itu justru merupakan penyimpangan yang agak terlalu jauh dan tidak sesuai dengan maksud diturunkannya al-Qur'an oleh Allah swt, bahkan menyimpang dari tujuan yang dikehendaki.
Berikut kitab-kitab tafsir yang menggunakan ra’yi-yang oleh adz-Dzahabi termasuk kategori yang mamduh dan jaizxxv:
1.Mafatihul ghaib karangan ar-Razi
2.Anwarut tanzil wa asrarut ta’wil karangan Baidlawi
3.Madarikut tanzil wa haqaiqut ta’wil karangan Nisfi
4.Lubabut ta’wil fi ma’arifit ta’wil karangan Khazin
5.Al-Bahrul muhith karangan Abu Hayyan
6.Gharaibul Qur’an wa raghaibul furqan karangan Naisaburi
7.Tafsir jalalain milik Jalaluddin al-Mahalli dan Suyuthi
8.Assirajul munir fil i’anati ‘ala ma’rifati ba’dli ma’ani kalami rabbinal hakimil khabir karangan al-Khathib al-syarbini.
9.Irsyadul ‘aqlis salim ila mazayal kitabil karim karangan Abi su’ud
10.Ruhul ma’ani fi tafsiril qur’anil ‘adzim was sab’il matsani karangan al-Alusi
PENUTUP

Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengutip pendapat (sahabat) Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa: "Ada 4 tema pokok dalam tafsir al-Qur'an: yang dapat dipahami oleh orang yang menguasai bahasa Arab, yang dapat dipahami oleh orang bodoh, yang dapat dipahami oleh para ulama dan yang hanya diketahui oleh Allah semata".xxvi
Ibnu Taimiyah mencatat, dalam kritiknya yang tajam, bahwa tafsir-tafsir yang berorientasi pada ideologi seperti itu (tertentu) berasal dari umat 'yang percaya pada makna-makna tertentu dan berusaha mencari identitas dirinya dengan mereka yang ada dalam al-Qur'an. Orang-orang itu memperhatikan makna yang mereka pegang tanpa mempertimbangkan uraian-uraian yang diharuskan oleh al-Qur'an'.xxvii

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahnya Depag RI. Semarang : PT Toha Putra

Al-A’zami, Prof. Dr. M.M. The History Of The Qur’anic Text. Gema Insani Pustaka, Jakarta: 2005

Ayub, Dr. Muhammad. Qur'an dan Para Penafsirnya 1. Pustaka Firdaus, Jakarta: Desember 1992

Baidan, Prof. Dr. Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: Agustus 2005

Adz-Dzahabi, Dr. Muhammad Husein. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Rajawali Pers, Jakarta: April 1996

Adz-Dzahabi, Dr. Muhammad Husain. Tafsir wa al-mufassirun I. Maktabah wa Hibah, Qahirah-Mesih: 2000

Goldziher, Ignas. Mazhab Tafsir dari klasik hingga modern. Penerbit eLSAQ Press, Yogyakarta: Maret 2006

AL-HAKIM DAN AL-MUSTADRAK

PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat bahwa al-Hakim merupakan tokoh ‘kontroversial’. Di satu pihak dianggap sebagai tokoh yang banyak menshahihkan hadist tentang keutamaan ahl al-bait dalam kitabnya al-Mustadrak, yang dimaudlu’kan banyak ulama. Di pihak lain ia mengarang kitab Fadlail al-Imam al-Syafi’I dan mayoritas guru-gurunya berasal dari komunitas sunni. Dengan keunikan ini, al-Hakim dianggap tokoh sunni oleh ulama’ sunni, dan dianggap tokoh syi’ah oleh ulama’ syiah.
Dengan adanya kontradiksi yang ada pada sosok dan karya al-Hakim, makalah ini dikhususkan untuk membahas beberapa titik point yang ditujukan pada al-Hakim dan karyanya ‘al-Mustadrak’, baik pada biografi, sejarah hidup, metodologi al-Mustadrak bahkan pandangan-pandangan ulama tentang al-Hakim dan karyanya ini.
Untuk edisi revisi ini, pemakalah menambahkan beberapa pembahasan sebagai acuan yang akan memperjelas sosok al-Hakim dan kitabnya seperti sejarah kehidupan intelektual dan kehidupan sosialogi al-Hakim, metodologi al-Hakim dan daftar isi dari kitab al-Mustadrak serta lainnya.


PEMBAHASAN
Biografi
Nama lengkap al Hakim adalah al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu'aim bin al-Bayyi' al-Dabi al–Tahmani al-Naisaburi. Dilahirkan di Naisabur pada hari senin 12 Rabiul awal 321 H, dan wafat pada tahun 405 H. Beliau sering disebut dengan Abu Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi' atau al-Hakim Abu Abdullah.
Ayah al-hakim, Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah yang sangat loyal terhadap penguasa bani Saman yang menguasai daerah Samaniyyah. Dalam catatan sejarah daerah Samaniyah pada abad ke 3 telah melahirkan ahli hadits ternama diantaranya Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa'I, dan ibn Majah. Di tempat inilah al-Hakim dilahirkan dan dibesarkan. Kondisi sosiokultural ini yang mempengaruhi al-Hakim sebagai seorang pakar hadits abad 4 H. Pada usia 13 tahun (334 H), ia berguru pada ahli hadits Abu Hatim Ibn Hibban dan ulama-ulama yang lainnya. Al Hakim melakukan pengembaraan ilmiah ke berbagai wilayah, seperti Iraq, Khurasan, Transosiana, dan hijaz. Rihlah ilmiah yang dilakukannya untuk mendapat sanad yang bernilai 'ali,i nampakknya al-Hakim ingin menerapkan pandangan al-Bukhari. Al-Hakim telah mensyaratkan tatap muka dengan guru dalam penerimaan riwayat hadits, meski hanya sekali.
Diperkirakan jumlah guru al-Hakim mencapai kurang lebih 1000 orang, diantaranya-selain ayahnya sendiri: al-Mudzakkir, al-A’sham, al-Syaibani, ar-Razi, al-Masarjisi, al-Hirri, Ibnu Hibban, al-Daruquthni dan Abu Ali al-Naisaburi.
Murid di sini bisa diartikan sekaligus sebagai pengagum dan atau mitra dialognya, seperti al-Daraquthni, al-Fawari, al-Wasithi, al-Hiwari, Abu Ya’la al-Khalili, Abu Bakr al-Baihaqi dan al-Atsram.
Al-Hakim tidak secara transparan mencontoh al-Daruquthni (mitra diskusinya) dan Ibnu Hibban (gurunya), justru shahihain (Bukhari dan Muslim-yang hidup tidak sezaman dengannya) yang secara tegas dinyatakan sebagai contoh.ii

Pujian ulama’ terhadap al-Hakim
Untuk pujian ulama, penulis cukupkan dengan dua tokoh saja yang mewakilinya, karena banyak sekali pujian terhadap beliau, yaitu: Abu Hazm dan ad-Dzahabi.
Abu Hazm berkata, “Orang pertama kali yang popular mengusai dan menghafal hadits berikut I’llat-I’llatnya di Naisaburi setelah Imam Muslim bin Al-Hajjaj Adalah Ibrahim bin Abi Thalib yang semasa dengan imam An-Nasa’I dan Ja’far Al-Faryabi. Periode berikutnya adalah Abu Hamid Asy-Syarqi yang semasa dengan Abu Bakar bin Ziyad An-Naisaburi dan Abu Al-Abbas bin Said. Kemudian Abu Ali Hafizh yang semasa dengan Abu Ahmad Al-Assal dan Ibrahim bin Hamzah. Setelah itu adalah Asy-Syaikhani, Abu Al-Husain Al-Hajjaj dan Abu Ahmad Al-hakim yang semasa dengan Ibnu Adi, Ibnu Al-Mudzhaffar dan Ad-Daruqthuni. Sedangkan, Abu Abdillah Al-hakim dimasanya adalah seorang diri yang tidak ada ulama lain selain dirinya, baik di Hijaz, Irak, Jabal, Rai Thabaristan, Qaus, Khurasan, dan daerah mawara’an an-nahri.”
Ad-Dzahabi berkata, ” Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang hafizh, kritukus perawi hadits yang dalam ilmunya serta syaihknya para ulama ahli hadits.”
Adz-Dzahabi berkata lebih lanjut, “Barang siapa merenungkan karya-karya Imam Abu Abdillah Al-hakim, pembahasannya ketika meberikan imla’ dan analisa pandanganya mengenai jalur-jalur periwayatan hadits, maka ia akan mengakui kecerdasan dan kelebihan yang dimiliki Imam Abu Abdillah Al-hakim. Sesungguhnya Imam Al-Hakim mengikuti jejak para pendahulunya dimana para ulama setelahnya akan kerepotan mengikuti jerih payah sebagaimana yang di lakukan Abu Abdillah Al-hakim. Dia hidup dengan terpuji dan tidak ada seorang pun setelahnya menyamainya.”

Situasi politik pada masa al-Hakim
Al-Hakim hidup pada masa dunia Islam diliputi oleh ketidakpastian karena ketidakstabilan politik dan ekonomi yang sering mengganggu kehidupan masyarakat, bahkan sering mengganggu bidak intelektual. Negara Islam yang membentang luas dari Andalus di sebelah barat Baghdad sampai Transoxiana di sebelah timurnya, berkeping-keping menjadi berbagai kekhalifahan dan kesultanan. Terdapat sisa-sisa kejayaan kekhalifahan bani Umayah di Andalus, kekhalifahan Fatimiyah di Mesir dan kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad merupakan bukti konkret dari pecahnya dunia Islam waktu itu.
Kekhalifahan tersebut terbagi menjadi kesultanan-kesultanan kecil yang masing-masing mempunyai pemerintahan yang ‘otonom’. Hubungan mereka seringkali hanya hubungan spiritual belaka dari pada hubungan structural yang secara penuh ada di bawah kekuasaan pusat.iii
Ketika al-Hakim hidup di dua kekhalifahan yaitu Mesir dan Baghdad yang penduduk mayoritas Sunni, para penguasa temporalnya bermadzhab Syi’ah. Mesir dikuasai oleh Syi’ah Sab’iyah dan Baghdad dikuasai oleh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Penguasa spiritual Baghdad yang Sunni, hanyalah symbol dan tidak memiliki kekuasaan apapun untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Walaupun masyarakat di kedua kekuasaan tersebut mayoritas Sunni, tetapi karena penguasanya Syi’ah, mau tidak mau para penguasa Syi’ah tersebut akan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kehendaknya. Pada masa ini, al-Hakim pernah diangkat menjadi pegawai pemerintah, namun ketika ia diangkat sebagai hakim di Jurjan, al-Hakim menolaknya.
Kekuasaan Bani Saman, karena pertikaian internal, akhirnya dijatuhkan oleh Ghaznawi. Disebutkan bahwa penulisan al-Mustadrak berlangsung pada masa transisi; peralihan kekuasaan dari Dinasti Saman ke Dinasti Ghaznawi yang penguasanya beraliran Syiah Ismailiyyah.

Karya-karya
Adz-Dzahabi berkata, “Al-Hakim telah memulai menuangkan ilmunya dalam bentuk karya kitab pada tahun 337 Hijriyah. Jumlah karya Abu Abdillah Al-Hakim mencapai sekitar 1000 (seribu) juz yang terdiri dari tahkrij Ash-Shahihain, Al-Illal, At-Tarajum, Al-Abwab dan Aku-Syuyukh.
Disamping itu, Abu Abdillah Al-Hakim juga menulis kitab Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits, Mustadrak Al-Hakim, Tarikh An-Naisaburiyin, Muzaka Al-Akhbar, Al-Madkhal ila Al-‘Ilmi Ash-Shahih, Al-Iklil, Fadha’il Asy-Syafi’I dan selainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya Abu Abdillah Al-Hakim yang paling terkenal adalah kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Kitab ini telah dicetak menjadi empat jilid berikut catatan pinggir ringkasan Imam Adz-Dzahabi.

Kitab “Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain”
Dar al-Fikr tahun 1978 menerbitkan kitab ini dalam 4 jilid besar, 2561 halaman, berisi 50 bahasan (bab/kitab) dan kurang lebih 8690 hadist. Al-Mustadrak termasuk dalam kitab al-Jami’iv. Al-Mustadrak mulai disusun pada tahun 373 H yang berarti ketika al-Hakim berusia 52 tahun dan diselesaikan pada tahun 393 H yang berarti interval waktu penulisan adalah 20 tahun.
Al-Mustadrak ‘ala shahihain artinya yang ditambahkan atau disusulkan atas shahihain. Sehinggga sifat kitab ini adalah melengkapi. Karena sifatnya melengkapi, maka kemungkinan-kemungkinan yang terjadi:
1.Hadist-hadist yang tercantum dalam al-Mustadrak melengkapi lafadz yang tercantum dalam shahihnyav.
2.Hadist-hadist yang tercantum dalam al-Mustadrak berbeda lafadz tapi sama makna dengan yang tercantum dalam shahihain
3.Hadist-hadist yang tercantum dalam al-Mustadrak menggunakan sanad yang tidak digunakan dalam shahihain.
4.Hadist-hadist yang tercantum dalam al-Mustadrak tidak ada dalam shahihain lafdhan wa ma’nan, tetapi tercantum dalam kitab lainvi.
Namun Imam Hakim dinilai agak lancang karena mengharuskan Imam Bukhari dan Imam Muslim mengeluarkan hadist-hadist yang tidak berkenan bagi mereka-lantaran menurut al-Hakim periwayat-periwayat hadist tersebut lemahvii. Dalam mustadraknya, al-Hakim pun kadang-kadang menganggap shahih suatu yang sebenarnya tidak shahih. Karenanya ia mencoba mengeluarkan beberapa hadist atas syarat yang diajukan kedua ulama besar tersebut.
Maka dari itu al-Mustadrak banyak ditanggapi oleh ulama dalam upaya mengkritik seperti al-Dzahabi mencoba meringkas hadits dan mengkritik Mustadrak dalam kitabnya Dzayl al-Mustadrak. Di dalamnya al-Dzahabi menilai setiap martabat hadits yang ada dalam al- Mustadrak Al-Dzahabi berkata: “Dalam kitab al-Mustadrak setengahnya adalah hadits yang sesuai dengan syarat syaikhain atau salah satunya, seperempatnya shahih al-isnad, sisanya adalah hadits munkar, dan maudluviii.”
Landasan paling mendasar yang menjadi acuan untuk menentukan status hadist dalam al-Mustadrak adalah syarat yang digunakan oleh al-Bukhari dan Muslim-tidak oleh yang lain. Dalam al-Mustadrak, al-Hakim menjadikan pernyataan dari al-Bukhariix dan Muslimx sebagai pijakan dasar dalam menyusun kerangka metodologinya.xi
Sistematika kitabnya mengikuti model yang dipakai oleh Bukhari maupun Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan membaginya dalam kitab-kitab (tema-tema) tertentu yaitu:
1.Dalam kitab al-Mustadrak hadits-hadits disebutkan mata rantai
2.Pada akhir hadits tersebut disebutkan keterangan dari al-Hakim tentang status hadits tersebut.xii Dan dibawah catatan kaki terdapat perkataan al-Dzahabi memberikan keterangan sesuai dengan kitab Talkhis dan al-Mizan yang dikarangnya untuk menanggapi hadits-hadits al-Hakim, dan perkataan al-Iraqi dalam kitabnya al-Amsal, perkatan imam al-Manawi dengan kitabnya Faid al-Qadir, dan ulama-ulama yang lainnya.
3.Terdapat Hadits yang tidak dinilai al-Hakim, hal ini dikarenakan pada awalnya al-Hakim akan mengoreksinya kembali, namun ajal telah menjemputnya.
4.Dan seringkali al-Dzahabi memberikan inisial dalam talkhisnya dengan menggunakan huruf "خ" untuk al-Bukhari dan "م" untuk Muslim
5.Menurut al-Dzahabi, salah seorang pengkritik al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak menyebutkan tingkatan lafadz jarh, mulai dari dha'if, layyin, sampai pada kadzab yadla'ul hadits.
Jika hadist yang tercantum dalam al-Mustadrak di atas dikaji berdasarkan tema-tema bahasan yang ada di dalamnya, maka jumlahnya dapat dirinci sebagai berikut: aqidah 251 hadist, ibadah sebanyak 1277 hadist, hukum halal-haram 2519 hadist, tarikh rasul-rasul 141 hadist, biografi sahabat nabi 1218 hadist, ta’wil mimpi 32 hadist, pengobatan dan jampi-jampi 73 hadist, huru-hara dan peperangan 347 hadist, kegoncangan hari kiamat 111 hadist, peperangan nabi 233 hadist, yang berkaitan dengan tafsir 974 hadist dan yang berkaitan dengan fadhail al-Qur’an 70 hadist.

Ke-syiah-an dan ke-tasahul-an al-Hakim
Sepintas, sekilas sketsa biografis al-Hakim di muka membenarkan dugaan (bahkan tuduhan) kesyiahan sebagaimana yang dilontarkan Muhammad bin Thahirxiii atau sebagaimana pernyataan Abdullah Isma’il bin Muhammad al-Ansharixiv. Tuduhan tersebut mungkin didasarkan pada: pertama, fakta sejarah bahwa al-Hakim hidup di masa Bani Saman yang pada masa itu penguasanya condong kepada Syi’ah Ismailiyah. Dasar kedua adalah, dalam al-Mustadrak, al-Hakim banyak menshahihkan hadist-hadist yang membela ahl al-Bait, yang mana hadist-hadist tersebut dimawdlu’kan oleh banyak ulama’xv.
Tasahul merupakan satu dari tiga jenis sikap ulama dalam kritik hadist. Dua lainnya adalah tasyaddud dan tawassuth. Banyak ulama’ telah mencari sebab-sebab ketasahulan al-Hakim, namun belum ada satu faktor ketasahulan pun yang bisa dianggap final. Sebab-sebab ketasahulan tersebut diantaranya: faktor ketuaan,xvi condong kepada syi’ah, hanya menyusun draft, rakus dalam meriwayatkan hadist dan menggunakan standar fiqih.
Faktor lain yang belum disebutkan tapi mungkin mendekati kebenaran adalah adanya kerancuan konsep shahih-hasan-dha’if pada masa al-Hakim sehingga menyebabkan munculnya ijtihad berupa pengkategorian hadist hasan ke dalam hadist shahih (sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Hibban).

KESIMPULAN
Imam al-Hakim adalah ulama yang mempunyai peranan besar terhadap karya-karya ulama-ulama sesudahnya. Al-Baghdadi, al-Sam’ani, al-Dzahabi dan al-Asqalani, lebih banyak mengutip pendapat al-Hakim. Fakta ini menjadi indikator keunggulan Kapasitas intelektual dan keunggulan kualitas al-Hakim dalam bidang ilmu hadist.
Keunggulan kapasitas dan kualitas al-Hakim, tidak lain merupakan efek dari keberhasilannya dalam menyusun pegangan sebagai perangkat acuan untuk menentukan status hadist yang ditelaahnya yang terdapat dalam al-Mustadrak ‘ala shahihain dan al-Iklil yaitu al-Madkhal ila kitab al-iklil dan ma’rifah ‘ulum al-Hadits.


REFERENSI

Abdurrahman, Dr. M. Pergeseran Pemikiran Hadist. Penerbit Paramadina: Jaksel, Januari 2000. Cet. I

Ash-Shalih, Dr. Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadist; Pustaka Firdaus: Jakarta. Cet.II April 1995

Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadist. PT. Bulan Bintang: Jakarta, 1988. Cet. I

Ath-Thahhan, Dr. Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadist, Dar al-Fikr: Beirut; Tth.

Ismail, Dr. M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. PT. Bulan Bintang: Jakarta; Agustus 1992.

‘Itr, Dr. Nuruddin. Ulum al-Hadist. Rosda Group: Bandung. Cet: I

Muhammad, Abdurrahman. Studi Kitab Hadits. Teras: Yogyakarta; 2003

http://www.scribd.com/doc/8009011. diakses: 11/15/2008 08:15 pm