Mengurai Fitnah Tajsim

Tajsim berarti "men-jism-kan", yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu "jism"? Ini titik rumitnya.

Makna Jism

Bagi ahli bahasa, jism adalah sesuatu yang berat dan padat. Oleh karenanya udara, roh atau lainnya yang sejenis tidaklah disebut sebagai jism. Diantara yang termasuk jism/jasad adalah tubuh manusia, dan lainnya yang berat dan padat.

Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.

Ada yang menggunakan istilah "jism" dalam pengertian "asy-syai" (sesuatu), dalam pengertian "al-maujud" (entitas), dalam pengertian "al-qaaim bin-nafs" (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian "al-musyaar ilaih" (sesuatu yang bisa ditunjuk).

Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian "ath-thawil al-`aridh al-`amiq" (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian "al-muhtamil lil-a`raadh" (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), "ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-ala wa-asfal" (entitas bersisi enam).

Dan, adapula yang menggunakan istilah "jism" ini adalah pengertian "al-muallaf minal ajzaa" (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian "al-jauhar maa a`raadhih" (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian "majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujammaah" (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).

Sikap Ulama terhadap Jism

Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya "al-maujuud"), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya "majmuu`atul a`raadh"), ada yang dipertentangkan (misalnya "al-musyaal ilaih"), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "jism", ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "bukan jism", dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai "jism" maupun "bukan jism".

Apakah Allah Swt itu Jism?

Jika ditilik lebih lanjut, ulama Asya’irah lebih memilih pendapat bahwa Allah bukanlah jism, yang tentunya dengan pengertian jism menurut ahli bahasa. 

Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyah. Seakan memperhatikan berbagai macam definisi tajsim yang dijelaskan di atas, Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat untuk tidak mentasbitkan dan tidak pula menafikan secara mutlah. Beliau menganggap lafal tajsim itu merupakan lafal yang muhtamil.

Bagaimana Maksud Ibnu Taimiyah?

Ok, mari kita perhatikan pertanyaan berikut.
Jika kamu ditanya, apakah Allah swt. itu jism, jawaban apakah yang kamu ungkapkan?

Tentu jawaban akan berbeda jika masing-masing kamu memiliki definisi yang berbeda tentang jism sebagaimana diuraikan di atas. Jika jism dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal ahlussunnah termasuk juga Asya’irah meyakini bahwa Allah swt. itu bisa dilihat di Surga. Sedangkan sesuatu yang dilihat dengan mata itu berarti sesuatu yang ditunjuki indera. Jika dikatakan Allah itu jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa bahwa tubuh dan anggota-anggotanya itu jism?

Tentu untuk menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama menjadi sulit ketika masing-masing memiliki definisi jism yang berbeda-beda. Maka, dari sini menarik apa yang diutarakan Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Ibnu Taimiyah berkata.

أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى

Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.

Dalam tempat lain, beliau berkata:

وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,فصار من البدع المذمومة .الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى

Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.

Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum muslimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.

Kedua: maknanya yang bisa jadi hak maupun batil. Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebatilan. Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Jism

Menurut Ibnu Taimiyah, lafal jism adalah lafal yang muhtamil serta bahasan yang muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan mutakallimin. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menghimbau untuk menghindari pembahasan ini. Namun jika tetap ditanya tentang ini, Ibnu Taimiyah memberi jalan keluar dalam masalah ini sebagai berikut. 
SELENGKAPNYA DISINI

Jawaban Ibnu Taimiyah tentang 'Tajsim' Allah

Tajsim berarti "men-jism-kan", yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu "jism"? Ini titik rumitnya.

Makna Jism

Bagi ahli bahasa, jism adalah sesuatu yang berat dan padat. Oleh karenanya udara, roh atau lainnya yang sejenis tidaklah disebut sebagai jism. Diantara yang termasuk jism/jasad adalah tubuh manusia, dan lainnya yang berat dan padat.

Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.

Ada yang menggunakan istilah "jism" dalam pengertian "asy-syai" (sesuatu), dalam pengertian "al-maujud" (entitas), dalam pengertian "al-qaaim bin-nafs" (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian "al-musyaar ilaih" (sesuatu yang bisa ditunjuk).

Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian "ath-thawil al-`aridh al-`amiq" (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian "al-muhtamil lil-a`raadh" (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), "ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-ala wa-asfal" (entitas bersisi enam).

Dan, adapula yang menggunakan istilah "jism" ini adalah pengertian "al-muallaf minal ajzaa" (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian "al-jauhar maa a`raadhih" (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian "majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujammaah" (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).

Sikap Ulama terhadap Jism

Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya "al-maujuud"), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya "majmuu`atul a`raadh"), ada yang dipertentangkan (misalnya "al-musyaal ilaih"), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "jism", ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "bukan jism", dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai "jism" maupun "bukan jism".

Apakah Allah Swt itu Jism?

Jika ditilik lebih lanjut, ulama Asya’irah lebih memilih pendapat bahwa Allah bukanlah jism, yang tentunya dengan pengertian jism menurut ahli bahasa. 

Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyah. Seakan memperhatikan berbagai macam definisi tajsim yang dijelaskan di atas, Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat untuk tidak mentasbitkan dan tidak pula menafikan secara mutlah. Beliau menganggap lafal tajsim itu merupakan lafal yang muhtamil.

Bagaimana Maksud Ibnu Taimiyah?

Ok, mari kita perhatikan pertanyaan berikut.
Jika kamu ditanya, apakah Allah swt. itu jism, jawaban apakah yang kamu ungkapkan?

Tentu jawaban akan berbeda jika masing-masing kamu memiliki definisi yang berbeda tentang jism sebagaimana diuraikan di atas. Jika jism dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal ahlussunnah termasuk juga Asya’irah meyakini bahwa Allah swt. itu bisa dilihat di Surga. Sedangkan sesuatu yang dilihat dengan mata itu berarti sesuatu yang ditunjuki indera. Jika dikatakan Allah itu jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa bahwa tubuh dan anggota-anggotanya itu jism?

Tentu untuk menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama menjadi sulit ketika masing-masing memiliki definisi jism yang berbeda-beda. Maka, dari sini menarik apa yang diutarakan Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Ibnu Taimiyah berkata.

أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى

Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.

Dalam tempat lain, beliau berkata:

وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,فصار من البدع المذمومة .الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى

Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.

Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum muslimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.

Kedua: maknanya yang bisa jadi hak maupun batil. Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebatilan. Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Jism

Menurut Ibnu Taimiyah, lafal jism adalah lafal yang muhtamil serta bahasan yang muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan mutakallimin. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menghimbau untuk menghindari pembahasan ini. Namun jika tetap ditanya tentang ini, Ibnu Taimiyah memberi jalan keluar dalam masalah ini sebagai berikut. 
SELENGKAPNYA DISINI

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang 'Tajsim' Allah

Tajsim berarti "men-jism-kan", yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu "jism"? Ini titik rumitnya.

Makna Jism

Bagi ahli bahasa, jism adalah sesuatu yang berat dan padat. Oleh karenanya udara, roh atau lainnya yang sejenis tidaklah disebut sebagai jism. Diantara yang termasuk jism/jasad adalah tubuh manusia, dan lainnya yang berat dan padat.

Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.

Ada yang menggunakan istilah "jism" dalam pengertian "asy-syai" (sesuatu), dalam pengertian "al-maujud" (entitas), dalam pengertian "al-qaaim bin-nafs" (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian "al-musyaar ilaih" (sesuatu yang bisa ditunjuk).

Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian "ath-thawil al-`aridh al-`amiq" (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian "al-muhtamil lil-a`raadh" (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), "ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-ala wa-asfal" (entitas bersisi enam).

Dan, adapula yang menggunakan istilah "jism" ini adalah pengertian "al-muallaf minal ajzaa" (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian "al-jauhar maa a`raadhih" (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian "majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujammaah" (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).

Sikap Ulama terhadap Jism

Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya "al-maujuud"), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya "majmuu`atul a`raadh"), ada yang dipertentangkan (misalnya "al-musyaal ilaih"), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "jism", ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "bukan jism", dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai "jism" maupun "bukan jism".

Apakah Allah Swt itu Jism?

Jika ditilik lebih lanjut, ulama Asya’irah lebih memilih pendapat bahwa Allah bukanlah jism, yang tentunya dengan pengertian jism menurut ahli bahasa. 

Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyah. Seakan memperhatikan berbagai macam definisi tajsim yang dijelaskan di atas, Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat untuk tidak mentasbitkan dan tidak pula menafikan secara mutlah. Beliau menganggap lafal tajsim itu merupakan lafal yang muhtamil.

Bagaimana Maksud Ibnu Taimiyah?

Ok, mari kita perhatikan pertanyaan berikut.
Jika kamu ditanya, apakah Allah swt. itu jism, jawaban apakah yang kamu ungkapkan?

Tentu jawaban akan berbeda jika masing-masing kamu memiliki definisi yang berbeda tentang jism sebagaimana diuraikan di atas. Jika jism dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal ahlussunnah termasuk juga Asya’irah meyakini bahwa Allah swt. itu bisa dilihat di Surga. Sedangkan sesuatu yang dilihat dengan mata itu berarti sesuatu yang ditunjuki indera. Jika dikatakan Allah itu jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa bahwa tubuh dan anggota-anggotanya itu jism?

Tentu untuk menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama menjadi sulit ketika masing-masing memiliki definisi jism yang berbeda-beda. Maka, dari sini menarik apa yang diutarakan Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Ibnu Taimiyah berkata.

أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى

Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.

Dalam tempat lain, beliau berkata:

وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,فصار من البدع المذمومة .الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى

Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.

Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum muslimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.

Kedua: maknanya yang bisa jadi hak maupun batil. Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebatilan. Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Jism

Menurut Ibnu Taimiyah, lafal jism adalah lafal yang muhtamil serta bahasan yang muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan mutakallimin. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menghimbau untuk menghindari pembahasan ini. Namun jika tetap ditanya tentang ini, Ibnu Taimiyah memberi jalan keluar dalam masalah ini sebagai berikut. 
SELENGKAPNYA DISINI

NU dan Islam Nusantara

Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang akan dihelat di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus, membawa tema penting, yakni “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Tema ini penting di tengah tercerabutnya identitas keislaman Indonesia yang menggiring sebagian Muslim menempuh lajur radikalisme.
Di kalangan nahdliyin, tema Islam Nusantara menandai perkembangan terkini dari pemikiran NU. Dulu pada zaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kita mengenal ide pribumisasi Islam. Intinya: Islam sebagai agama universal harus dibumikan ke dalam budaya lokal. Ini dilakukan agar Muslim Indonesia bisa beragama sesuai dengan budaya Indonesia.
“Kita ambil nilai Islam, kita saring budaya Arab-nya”, demikian Gus Dur menandaskan.
Islam Indonesia
Dari sini lahirlah istilah Islam Indonesia. Maksudnya tentu saja jelas: Islam yang berbudaya Indonesia. Dalam praktik diskursifnya, Islam Indonesia ditempatkan dalam konteks keindonesiaan modern, yang bernegara-bangsa, berpancasila, dan demokratis. Ini digunakan oleh nahdliyin sebagai norma dasar yang memayungi geliat pemikiran dan gerakan sosialnya. Ketika terjadi “bom intelektual” NU pada akhir 1990-an, gagasan Islam Indonesia diradikalkan dalam rangka sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisme.

NU – WAHABI BERSATU, MUNGKINKAH?

Pada tanggal 22 Pebruari 2015 yang lalu, saya diundang az-Zikra, majlis dzikir pimpinan Ustadz Arifin Ilham, di Bogor, untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara Tabligh Akbar. Sepertinya dalam acara tersebut juga melibatkan orang-orang Wahabi. Dalam acara yang membicarakan penyimpangan ajaran Syiah tersebut, sepertinya aroma Wahabi memang agak terasa.


Saya berbicara di forum yang dihadiri orang-orang yang memenuhi lantai bawah Masjid az-Zikra tersebut. Konon Masjid tersebut hasil sumbangan al-Marhum Muammar Qadzafi, Presiden Libia, yang dibunuh dalam serangan tentara Barat ke Libia beberapa waktu yang lalu. Setelah saya selesai berbicara tentang perbedaan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan Syiah, dua orang wartawan situs islampos.com mengikuti saya menuju ruang istirahat, ruangan VIP di sebelah Raudhatul Athfal az-Zikra. Mereka mengikuti saya untuk wawancara dengan saya seputar ajaran Syiah. Pada waktu itu, saya ditemani beberapa teman sealmamater dengan saya di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, yaitu Ustadz Abdussalam, Ahmad Mukhlishuddin, Rohmatullah Adni Asymuni, Ahmad Zuhud, Badrus Sholeh dan Abdurrohim.



Pada awalnya, kedua wartawan tersebut, yang kemudian disusul oleh seorang wartawan lagi dari situs yang sama, menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Syiah. Tetapi, tanpa saya duga, setelah selesai menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Syiah, mereka mulai menanyakan tentang serangan-serangan saya terhadap Wahabi di dunia maya. Berikut wawancaranya.

Titik Temu Wahabi - NU

Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di Indonesia. Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia.

Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumber-sumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.

Kaidah Kuasa dari 5 Khulafaur Rasyidin

Tak bisa dipungkiri, bahwa banyak sekali teladan yang dicontohkan oleh pemimpin nan adil yang ditampilkan oleh khulafaur rasyidin. Mereka tidak hanya mampu menampilkan keshalehan secara mandiri, tetapi suka keshalehan secara sosial yang dipraktikkannya dalam kepemimpinan mereka. Hal itu tidak lain karena mereka memahami benar makna sebuah kekuasaan sehingga menggunakannya dengan baik dan tepat. Berikut kaidah yang digunakan oleh 5 khalifaur rasyidin dalam memimpin rakyatnya pada masa mereka memerintah sesuai dengan suhu politik kala itu.
Kaidah 1
"Jika pasar mengalahkan Masjid, maka Masjid akan mati. Jika Masjid mengalahkan pasar, maka pasar akan hidup."
-Abu Bakar Ash-Shiddiq-

Kaidah 2
"Negeri akan baik jika orang shalihnya kuat, orang jahatnya lemah. Negeripun rusak jika sebaliknya."
-'Umar ibn Al Khaththab-

Bercengkrama dengan Seorang Nenek

“Nenek usia berapa ? Kok masih kerja?”
“87 Tahun nak. Saya masih kuat kok.”
“Bukankah nenek pensiunan karyawan POLRI, dan punya gaji?”
“Ya nak, bahkan gaji saya cukup, karena saya sekolahnya hanya SR, pensiun saya Rp 1,6 juta,”
“Lho nek, bukankah gaji sudah cukup untuk hidup nenek?”
“Ya sangat cukup. Tapi saya kerja bukan semata cari uang, tetapi mencari kegiatan,”
“Kalau sudah tua seperti nenek, mencari kegiatan itu ya ke masjid nek, masak kerja,”
“Wah, kalau ke masjid itu nomor satu. Tetapi kerja ini kan siang dan tidak mengganggu sama sekali ibdah saya. Saya jualan ini biar tidak melamun dan badan menjadi sehat. Kalau pagi saya ikut naik praoto (truk polisi) saat berangkat dan pulang naik angkutan kota. Alhamdulillah nambah sehat.”

Imam Bukhari Saja Meriwayatkan dari Perawi Syi'ah?

Ada pernyataan yang kedengarannya unik, namun menggelitik. Pernyataan itu adalah 
“Imam Bukhari aja mengambil riwayat dari perawi syi’ah koq.” 
Pernyataan ini seakan memberikan penilaian bahwa imam Bukhari melegitimasi keyakinan Syi'ah. Padahal jika itu ditelusuri, justru tidaklah demikian.
Untuk mengetahui atau mengurai pernyataan di atas, kita perlu memperjelas terlebih dahulu dengan dua pertanyaan berikut:
1.   Siapakah perawi Syi’ah yang dimaksud?
2.   Keyakinan apakah yang menjadikan seseorang disebut syi’ah?

Jika 2 pertanyaan di atas dapat dijawab, pasti kita akan bisa mengetahui mengapa imam Bukhari mengambil riwayat tersebut dari perawi tersebut.

Dialog Aswaja NU - Syi'ah di IAIN Jember

"Dialog Terbuka Aswaja NU - Syi'ah" yang diselenggarakan hari Senin, 26 Januari 2015 dihadiri pembicara dari pihak Aswaja NU adalah Muhammad Idrus Ramli (Jember), sedangkan dari pihak Syi'ah adalah Abdullah Uraidhi (Jakarta) dan Abdillah Ba'abud (Malang), keduanya lulusan Iran. Berikut gambaran jalannya dialog tersebut. 

Pemaparan
Abdullah Uraidhi (Syi'ah): “Menurut ulama Syi'ah yang muktabar, tidak ada bedanya Syi'ah dengan Sunni."
Abdillah Ba'abud (Syi'ah): “Syi'ah bukan hanya menganggap sunni sebagai saudara, melainkan sudah menjadi bagian dari jiwa Syi'ah. Jika sunni sakit maka syi'ah juga sakit, begitu pula sebaliknya."

WAWANCARA DAWAM RAHARJO TENTANG ISLAM POLITIK

PENDAHULUAN
''Agama (Islam) tak usah dibawa-bawa ke dalam politik!'' Jargon ala penasihat pemerintah kolonial Belanda Christian Snouck Hurgronje ini terus berdengung hingga sekarang, bahkan terasa akhir-akhir ini semakin kencang meski Pemilu 2014 sudah berlalu. Tuduhannya pun macam-macam, mulai dari sekadar guyon soal dilarangnya night club, lokalisasi penjaja seks, hingga tuduhan serius soal wacana teroris Islam hingga perang terhadap 'Islam' yang dibentuk ISIS.

Memang Hugronje sudah lama meninggal. Zaman sudah berganti dan kolonial sudah pergi. Namun, entah mengapa soal Islam politik terus dicurigai. Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1960-an ada jargon yang 'nyinyir' kepada gerakan Islam yang memperjuangkan ide politik (Islam politik). Saat itu munculah seruan: waspadalah kepada kaum sarungan! Slogan serupa pun banyak bermunculan saat itu. Salah satu contohnya adalah menyamakan para pemimpin pesantren yang punya lahan sawah luas sebagai setan desa.

Setelah, masa Orde Lama pimpinan Bung Karno lewat, hal yang sama juga terjadi. Pada akhir 1980-an, ketika terjadi perdebatan panas soal rancangan undang-undang peradilan agama, muncul juga sebutan sinis. Seorang petinggi intelijen yang sangat ditakuti menyebut bahwa saat ini ada gerilya kembali ke Piagam Jakarta. Arah tuduhan ini jelas bahwa umat Islam masih tetap memendam bara perjuangan hendak menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara Islam.