Bercengkrama dengan Seorang Nenek

“Nenek usia berapa ? Kok masih kerja?”
“87 Tahun nak. Saya masih kuat kok.”
“Bukankah nenek pensiunan karyawan POLRI, dan punya gaji?”
“Ya nak, bahkan gaji saya cukup, karena saya sekolahnya hanya SR, pensiun saya Rp 1,6 juta,”
“Lho nek, bukankah gaji sudah cukup untuk hidup nenek?”
“Ya sangat cukup. Tapi saya kerja bukan semata cari uang, tetapi mencari kegiatan,”
“Kalau sudah tua seperti nenek, mencari kegiatan itu ya ke masjid nek, masak kerja,”
“Wah, kalau ke masjid itu nomor satu. Tetapi kerja ini kan siang dan tidak mengganggu sama sekali ibdah saya. Saya jualan ini biar tidak melamun dan badan menjadi sehat. Kalau pagi saya ikut naik praoto (truk polisi) saat berangkat dan pulang naik angkutan kota. Alhamdulillah nambah sehat.”

__
“Kue yang nenek jual ini membuat apa membeli ke orang nek ?”
“Oh saya tidak membuat, tetapi membeli di tetangga saya .”
“Berapa nenek beli ?
“Rp 4.000,- nak.”
“Lho kok nenek jual Rp 5.000,-. Untungnya kecil. Harusnya nenek jual Rp 6.000,-. Kan nenek perlu transport, dll,”
“Kasihan anak anak (polisi dan karyawan polda, maksudnya). “
“Kenapa kasihan nek ?”
“Ya mereka kan bekerja untuk anak anaknya.Biar uangnya dikumpulkan, bisa untuk anak anaknya sekolah, tidak habis untuk beli kue. Jadi saya cari untung kecil saja, gak apa apa. Sudah cukup.”
__
Sebuah kisah nyata yang diceritakan kang Yusron Aminulloh yang ditulis di situs hidayatullah.com.. Kang Yusron pun menutup dengan sebuah kesimpulan yang apik
“Dalam bahasa KH A.Mustofa Bisri, langkah nenek ini berangkat bekerja, bukan hanya bekerja. Tetapi itu adalah berdzikir. Ia berdzikir kepada Allah dengan caranya. Yakni bekerja memuliakan orang lain. Ibadahnya menyatu dalam dirinya. Ia tidak memakai teori, namun ia mempraktekkan. Ia menyatukan dirinya dalam keabadian menuju SurgaNya.
Share this with short URL: