Wahai teman-teman, apakah kalian tahu apa itu I’dad?
Apakah kalian takut mengenal I’dad, karena hal itu dapat dijustifikasikan ke dalam gerakan ‘terorisme’?
Ooo.. ternyata itu akan sirna dengan kalian melihat dan mengenal betul arti sebenarnya dengan I’dad.. karena sekarang MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) telah mensosialisakannya ke dalam kegiatan ‘nyata’ dengan mengadakan pendidikan dan latihan dasar nasional. Kegiatan ini dilakukan secara Nasional.. wow!!
Dan juga, ternyata gak 'ngeri' seperti apa yang diberitakan oleh media atau yang kita sangka-sangka...
Pendidikan dan Latihan Dasar Nasional (Diklatsarnas) Laskar Mujahidin Majelis Mujahidin (LM3) baru saja berakhir (13-18/06/2012) mengundang banyak perhatian masyarakat luas dan kaum Muslimin, selain karena kegiatan ibadah i’dad (mempersiapkan diri dan membentuk kekuatan) dalam bentuk latihan ala militer ini dilakukan oleh organisasi yang pernah distigma sebagai gerakan radikal, juga karena dilakukan secara terbuka.
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Pusat, Ustadz Irfan S. Awwas menjelaskan bahwa kegiatan tersebut berangkat dari sebuah visi sederhana yang diinginkan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yaitu ikhtiar membangun kekuatan Islam ditengah perpecahan umat. “Keinginan membangun kekuatan Islam ini yang memang sudah cukup lama dicita-citakan oleh MMI,” Kata Ustadz Irfan kepada media online Ar Rahmah.
Saat ini, menurutnya umat islam sedang terbelenggu sebuah trauma. Trauma yang diakibatkan oleh stigma global berupa tudingan terorisme dan radikalisme. Dari belenggu stigma tersebut sebagian umat dari Islam mencoba keluar. Namun sayangnya, dalam pandangan ustadz Irfan, mereka hendak keluar dari stigma tersebut dengan cara memahami Islam secara parsial sehingga timbullah tema-tema Islam moderat, Islam warna-warni, ataupun Islam KTP. “Akhirnya, Islam yang komprehensif difahami sekterian,” ucapnya.
Perpecahan seperti inilah yang menurutnya sedang melanda umat Islam, dimana perbedaan dalam menerapkan ajaran Islam cenderung disikapi dengan kontroversi dan permusuhan. Berangkat dari realitas seperti ini, MMI berupaya meminimalkan permusuhan yang terjadi dikalangan umat. Diklatsar ini menurutnya, mempunyai peran penting untuk menyelesaikan problema tersebut tanpa melulu dihadapi dengan pertentangan. Akan tetapi juga melalui upaya dialogis, selain juga menghidupkan ibadah i’dad yang merupakan bagian dari ajaran Islam untuk difahami secara komprehensif tidak difahami hanya sebatas parsial. Oleh sebab itu, dalam diklat tersebut laskar dilatih juga ilmu dakwah, ilmu komunikasi dan diplomasi selain membangun ketahanan fisik.
“Dalam rangka mencapai penerapan syariat Islam, bukan hanya dengan kontroversi tetapi juga diplomasi sebagai solusi. Maka, Majelis Mujahidin menggunakan dakwah dan jihad, dakwah itu kan diplomasi, dan juga harus berani membela Islam dengan jiwa, harta, kekuatan, dan intelektualnya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dakwah yang berarti pula sebuah diplomasi merupakan solusi damai dan tidak semua persoalan di zaman Rasulullah SAW diselesaikan dengan peperangan, ini lah yang ingin MMI contoh. Karena menurtnya, setiap masalah tidak selalu diselesaikan dengan jihad dalam arti qital. “Atau sebaliknya tidak semua masalah diselesaikan dengan diplomasi, dan harus dengan Jihad dalam arti qital,” imbuh ustadz Irfan.
Menjelaskan keterbukaan pelatihan tersebut, Ustadz Irfan mengatakan bahwa ada dua persepsi yang berkembang. Pertama, disebagian gerakan Islam menganggap mengadakan suatu gerakan i’dad atau pelatihan laskar secara terbuka dinilai sebagai bentuk terderadikalisasinya gerakan tersebut. Dan ia menilai hal itu merupakan persepsi yang salah. Kedua, bagi pemerintah dan kelompok-kelompok sekuler mengadakan pelatihan secara tertutup dinilai sebagai sebuah gerakan terorisme ataupun gerakan makar yang justru harus dicurigai.
“Ini kan sebuah kontroversi, disatu sisi dianggap terderadikalisasi disatu sisi dianggap terorisme dan makar. Nah, MMI tidak terikat dengan dua persepsi ini, MMI hanya terikat dengan Qur’an Sunnah. MMI meyakini bahwa dakwah itu adalah terbuka. Contohnya Rasulullah itu melakukan dakwah secara terbuka, bahkan perang yang dilakukan Rasulullah pun diumumkan secara terbuka,” Paparnya.
Lanjutnya, dalam melihat persoalan apakah pelatihan tersebut diselenggarakan untuk kepentingan ibadah i’dad fi sabilillah yang sebenarnya, harus dilihat substansi kegiatan tersebut, bukan melihat hanya dari sisi terbuka atau tertutup.
“Bukan berarti yang terbuka dan didiamkan pemerintah itu bekerjasama dengan pemerintah, dan bukan berarti kegiatan tertutup itu menandakan kepastian memusuhi pemerintah, itu tidak selalu seperti itu,” ujar ustadz Irfan.
Selain itu, tambah Ustadz Irfan, perlu dilihat dari sisi maslahat mudharatnya pula. “Jadi, kita melihat manfaatnya apa? Terbuka atau tertutup. Jika terbuka tidak masalah ya mengapa harus tertutup? Kita kan hanya membangun kekuatan biasa saja, kita membangun kekuatan dakwah,” jelasnya.
Malah, menurutnya, kondisi di Indonesia kegiatan yang tertutup lebih banyak kelemahannya. Dalam artian, kegiatan tertutup kerap kali dijadikan alasan dan perekayasaan memberangus gerakan Islam.
“Justru kegiatan yang tertutup seringkali dicari-cari kesalahan, direkayasa supaya kegiatan tersebut dianggap teroris dan makar, ditunggangi intelijen untuk dibelokkan, dan sebagainya, agar masyarakat antipati terhadap dakwah,” ungkap ustadz Irfan.