Polemik Seputar Format Perjuangan Penegakan Syariat Islam


JAKARTA (VoA-Islam) – Menarik untuk dicermati, ketika cita-cita bersama untuk menegakkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dipahami berbagai kelompok aktivis Islam dengan ijtihad yang berbeda.
Namun, perbedaan pandang tersebut, hendaknya tidak menyurutkan langkah untuk mundur ke kebelakang, lalu melupakan tujuan awal, dan cita-cita yang didambakan.
Banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana mekanisme dan proses implementasi penerapan syariat sosial kenegaraan Islam yang dicita-citakan untuk mengelola bangsa –negara Indonesia? Lalu bagaimana memiliki pemimpin Indonesia yang taat syariat?
Realita yang terjadi di tubuh umat Islam adalah adanya perbedaan pandang ketika membahas soal mekanisme formalisasi syariat diterapkan. Ada yang memanfaatkan jalur demokrasi, dan ada pula yang mengharamkan demokrasi. Ada yang mendompleng Pancasila, dan ada pula yang menilai Pancasila sebagai Thagut. Inilah realita yang tak berujung, masing-masing punya alasan yang kuat.
Yang menolak demokrasi berpandangan, demokrasi hampir di seluruh dunia adalah sekuler. Karena itu jangan mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang batil.  Demokrasi adalah haram hukumnya. Sepanjang sejarah, pemilu di Indonesia, partai Islam tidak pernah menang, sebab lewat jalur demokrasi yang liberal.
Sementara itu, yang memanfaatkan dan mendompleng demokrasi berpendapat, kita hidup di negara yang dinilai orang memakai sistem demokrasi yang tidak Islami, tapi kita tetap ikut dalam praktek kebijakan-kebijakan nasionalnya yang berlaku, termasuk perbankan, pendidikan, bahkan hukumnya. Mengapa Pemilu diharamkan, padahal justru (melalui pemilu) itu berpeluang bisa mengubah kebijakan nasional yang ada, termasuk tatanan hukumnya. Mengecilnya suara yang diperoleh Partai Islam, telah memperbesar peluang menangnya partai sekuler dalam sebuah pemilu.
Diantara yang menolak demokrasi dan memanfaatkan demokrasi, ada kelompok yang sebetulnya menimbang-nimbang kedua opsi tersebut. Misalnya, seputar pertanyaan, partai Islam itu mewakilkan siapa? Apakah aspirasi umat Islam sudah sepenuhnya didengar?
Dengan skeptis, suara rakyat kebanyakan mempertanyakan, saat ini perilaku politik tokoh Islam tidak seperti tokoh Islam dahulu, yakni membela ideologi (Islam) hingga titik darah penghabisan. Umat juga tidak lagi percaya pada klasifikasi partai agama dan partai sekuler. Semua partai sama saja.
Sampai ada ungkapan, yang disebut partai sekuler ada “ulamanya” yang (konon) tawadhu. Sebaliknya, yang disebut partai agama, banyak tokohnya yang tidak berprinsip, asal dapat kue politik. Umat Islam yang netral, lalu berpendirian, bahwa ia merasa sangat Islam, meski tidak ikut parpol Islam.
Format Perjuangan Islam
Bicara tentang teori ihwal bagaimana mencari format baru dalam perjuangan Islam, memang tak perlu saling menggurui. Antara cita-cita ideal dengan realita yang dihadapi, kadang tidak sesuai dengan harapan. Itu artinya, tidak sesederhana dan memutarbalikkan telapak tangan. Diperlukan kesadaran untuk saling memahami ijtihad masing-masing aktivis Islam dengan manhaj yang berbeda, tanpa melupakan cita-cita penegakan syariat Islam.
Tentu saja, proses penegakan syariat Islam yang dijalankan bukanlah sekadar utopia atau wacana yang tak berkesudahan, bila tidak disertai oleh teknis dan mekanisme yang harus dilakukan.  Sehingga, umat tidak dibingungkan oleh polemik seputar model dan penerapan syariat Islam dalam mengelola bangsa dan negara.
Sangat disayangkan, jika kehadiran pemimpin Islam di satu wilayah, tanpa disertai kewenangan mengelola negara atau wilayah tempat dia tinggal. Kita juga berharap, dengan dikeluarkannya Perda-perda (yang bersubstansi syariah) tidak sekedar macan kertas. Tapi menjadi panduan hidup yang dilandasi oleh syariah.
Perlu diketahui, betapa gentarnya musuh-musuh Islam, ketika kekuatan Islam berada di jalurnya masing-masing, baik yang berada di jalur ormas, parlemen, pemerintahan, hingga medan jihad. Seyogianya, kita tidak saling mengerdilkan. Masih ada ruang untuk saling mendiskusikan terkait ijtihad yang berbeda. Terpenting, cita-cita penegakan syariat Islam itu harus diutamakan. Desastian
Share this with short URL: