'Pernikahan' tanpa Agama: Pernikahan ala Barat

Oleh: Abdul Fatah, S.Ud.
MUQADDIMAH
Gugatan pelegalan nikah tanpa sesuai dengan agama yang dilayangkan tiga alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia kepada Mahkaman Konstitusi (MK) tentu akan mengancam sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.
Anbar Jayadi, salah satu pemohon, mengatakan, berdasarkan pasal tersebut, negara terkesan memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan. Pasal tersebut berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Bersikap terhadap Baha'i

Fenomena Baha’i
AKHIR -akhir ini, masyarakat Indonesia seakan dikejutkan dengan berita kelompok baru dalam berkeyakinan. Kelompok itu tidak lain adalah kelompok Baha’i. Berita ini semakin santer ketika menteri agama baru kita menerangkan kelompok ini dalam tweternya. Seakan merestui sebagai agama baru di Indonesia, media-media pun memunculkan isi tweet tersebut sebagai sebuah pelegalan.
Namun dengan terburu-buru, sang menteri pun segera menampik isu pelegalan tersebut dengan diplomatis.
Kelompok Bahá’í dimulai di Iran pada abad 19. Pendirinya bernama Bahá’u’lláh. Pada awal abad kedua puluh satu, jumlah penganut Bahá’í sekitar enam juta orang yang berdiam di lebih dari dua ratus negeri di seluruh dunia. Ajaran yang mendasar dalam kelompok Baha’I ini adalah keesaan Tuhan, kesatuan agama, dan kesatuan manusia.

HISTORIOGRAFI BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH;

Antara Kepentingan Kekuasaan dan Studi Kritis
Oleh: A. Mulyana

Historiografi sejarah Indonesia memiliki dua kekuatan narasi yaitu narasi formal dan narasi yang bersifat pinggiran (Henk Schulte Nordholt, 2008 : 24-31). Narasi formal adalah historiografi resmi yang ditulis oleh negara yang biasanya ditampilkan dalam buku Sejarah Nasional. Sejarah Nasional merupakan historiografi yang dibuat oleh negara dan harus disosialisasikan kepada masyarakat yang lebih luas.Salah satu sosialisasi penting yang dilakukan adalah melalui buku teks pelajaran yang diajarkan di sekolah. Dengan demikian historiografi yang ada dalam buku teks pelajaran sejarah menjadi suatu narasi besar atau arus utama tentang interpretasi sejarah Indonesia. Sedangkan historiografi pinggiran biasanya lahir dari hasil penelitian di perguruan tinggi seperti dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi atau hasil-hasil penelitian karya akademisi lainnya. Interpretasi sejarah pada historiografi formal dan pinggiran memungkinkan terjadinya perbedaan. Hal ini lah yang kemudian menjadi isyu penting dalam historiografi sejarah Indonesia pada awal reformasi.