Bercengkrama dengan Seorang Nenek

“Nenek usia berapa ? Kok masih kerja?”
“87 Tahun nak. Saya masih kuat kok.”
“Bukankah nenek pensiunan karyawan POLRI, dan punya gaji?”
“Ya nak, bahkan gaji saya cukup, karena saya sekolahnya hanya SR, pensiun saya Rp 1,6 juta,”
“Lho nek, bukankah gaji sudah cukup untuk hidup nenek?”
“Ya sangat cukup. Tapi saya kerja bukan semata cari uang, tetapi mencari kegiatan,”
“Kalau sudah tua seperti nenek, mencari kegiatan itu ya ke masjid nek, masak kerja,”
“Wah, kalau ke masjid itu nomor satu. Tetapi kerja ini kan siang dan tidak mengganggu sama sekali ibdah saya. Saya jualan ini biar tidak melamun dan badan menjadi sehat. Kalau pagi saya ikut naik praoto (truk polisi) saat berangkat dan pulang naik angkutan kota. Alhamdulillah nambah sehat.”

Imam Bukhari Saja Meriwayatkan dari Perawi Syi'ah?

Ada pernyataan yang kedengarannya unik, namun menggelitik. Pernyataan itu adalah 
“Imam Bukhari aja mengambil riwayat dari perawi syi’ah koq.” 
Pernyataan ini seakan memberikan penilaian bahwa imam Bukhari melegitimasi keyakinan Syi'ah. Padahal jika itu ditelusuri, justru tidaklah demikian.
Untuk mengetahui atau mengurai pernyataan di atas, kita perlu memperjelas terlebih dahulu dengan dua pertanyaan berikut:
1.   Siapakah perawi Syi’ah yang dimaksud?
2.   Keyakinan apakah yang menjadikan seseorang disebut syi’ah?

Jika 2 pertanyaan di atas dapat dijawab, pasti kita akan bisa mengetahui mengapa imam Bukhari mengambil riwayat tersebut dari perawi tersebut.

Dialog Aswaja NU - Syi'ah di IAIN Jember

"Dialog Terbuka Aswaja NU - Syi'ah" yang diselenggarakan hari Senin, 26 Januari 2015 dihadiri pembicara dari pihak Aswaja NU adalah Muhammad Idrus Ramli (Jember), sedangkan dari pihak Syi'ah adalah Abdullah Uraidhi (Jakarta) dan Abdillah Ba'abud (Malang), keduanya lulusan Iran. Berikut gambaran jalannya dialog tersebut. 

Pemaparan
Abdullah Uraidhi (Syi'ah): “Menurut ulama Syi'ah yang muktabar, tidak ada bedanya Syi'ah dengan Sunni."
Abdillah Ba'abud (Syi'ah): “Syi'ah bukan hanya menganggap sunni sebagai saudara, melainkan sudah menjadi bagian dari jiwa Syi'ah. Jika sunni sakit maka syi'ah juga sakit, begitu pula sebaliknya."

WAWANCARA DAWAM RAHARJO TENTANG ISLAM POLITIK

PENDAHULUAN
''Agama (Islam) tak usah dibawa-bawa ke dalam politik!'' Jargon ala penasihat pemerintah kolonial Belanda Christian Snouck Hurgronje ini terus berdengung hingga sekarang, bahkan terasa akhir-akhir ini semakin kencang meski Pemilu 2014 sudah berlalu. Tuduhannya pun macam-macam, mulai dari sekadar guyon soal dilarangnya night club, lokalisasi penjaja seks, hingga tuduhan serius soal wacana teroris Islam hingga perang terhadap 'Islam' yang dibentuk ISIS.

Memang Hugronje sudah lama meninggal. Zaman sudah berganti dan kolonial sudah pergi. Namun, entah mengapa soal Islam politik terus dicurigai. Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1960-an ada jargon yang 'nyinyir' kepada gerakan Islam yang memperjuangkan ide politik (Islam politik). Saat itu munculah seruan: waspadalah kepada kaum sarungan! Slogan serupa pun banyak bermunculan saat itu. Salah satu contohnya adalah menyamakan para pemimpin pesantren yang punya lahan sawah luas sebagai setan desa.

Setelah, masa Orde Lama pimpinan Bung Karno lewat, hal yang sama juga terjadi. Pada akhir 1980-an, ketika terjadi perdebatan panas soal rancangan undang-undang peradilan agama, muncul juga sebutan sinis. Seorang petinggi intelijen yang sangat ditakuti menyebut bahwa saat ini ada gerilya kembali ke Piagam Jakarta. Arah tuduhan ini jelas bahwa umat Islam masih tetap memendam bara perjuangan hendak menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara Islam.