Pada tanggal 22 Pebruari 2015 yang lalu, saya
diundang az-Zikra, majlis dzikir pimpinan Ustadz Arifin Ilham, di Bogor, untuk
menjadi salah satu pembicara dalam acara Tabligh Akbar. Sepertinya dalam acara
tersebut juga melibatkan orang-orang Wahabi. Dalam acara yang membicarakan
penyimpangan ajaran Syiah tersebut, sepertinya aroma Wahabi memang agak
terasa.
Saya berbicara di forum yang dihadiri
orang-orang yang memenuhi lantai bawah Masjid az-Zikra tersebut. Konon Masjid
tersebut hasil sumbangan al-Marhum Muammar Qadzafi, Presiden Libia, yang
dibunuh dalam serangan tentara Barat ke Libia beberapa waktu yang lalu. Setelah
saya selesai berbicara tentang perbedaan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan
Syiah, dua orang wartawan situs islampos.com mengikuti
saya menuju ruang istirahat, ruangan VIP di sebelah Raudhatul Athfal az-Zikra.
Mereka mengikuti saya untuk wawancara dengan saya seputar ajaran Syiah. Pada
waktu itu, saya ditemani beberapa teman sealmamater dengan saya di Pondok Pesantren
Sidogiri Pasuruan, yaitu Ustadz Abdussalam, Ahmad Mukhlishuddin, Rohmatullah
Adni Asymuni, Ahmad Zuhud, Badrus Sholeh dan Abdurrohim.
Pada awalnya, kedua wartawan tersebut, yang
kemudian disusul oleh seorang wartawan lagi dari situs yang sama, menanyakan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan Syiah. Tetapi, tanpa saya
duga, setelah selesai menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Syiah, mereka
mulai menanyakan tentang serangan-serangan saya terhadap Wahabi di dunia maya. Berikut wawancaranya.
Islampos (IP): Mengapa Anda sering
menyerang Wahabi dalam tulisan-tulisan Anda di dunia maya, baik di akun
facebook, fanpage maupun situs www.idrusramli.com?
Saya (S): Saya tidak pernah
menyerang Wahabi. Saya hanya menanggapi dan merespon serangan mereka. Coba Anda
perhatikan, kaum Wahabi tidak pernah lelah dan tidak pernah berhenti
mensyirikkan, mengkafirkan dan membid’ahkan kami, baik melalui dunia maya,
radio, televisi, buku-buku dan lainnya. Jadi, kami hanya merespon saja.
IP: Apakah mungkin Nahdlatul Ulama bersatu dengan Wahabi?
S: Pertanyaan Anda ini lucu. Sebab sebenarnya
Islam telah menyatukan semuanya. Ahlussunnah Wal-Jama’ah Islam, Wahabi Islam,
Syiah juga Islam. Jadi Islam telah menyatukan mereka. Hanya saja kemudian
mereka dikotak-kotakkan dan dipisahkan oleh banyak perbedaan baik dalam
masalah-masalah ushul (akidah) maupun dalam masalah-masalah furu’ (fiqih).
[Tentu saja, Syiah masih dianggap Islam, selama mereka tidak menistakan para
istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak mengakafirkan sahabat dan tidak
meyakini kepalsuan al-Qur’an).
Sebenarnya bagaimana peta perpecahan antara aliran-aliran tersebut?
Jadi begini, 90 % umat Islam itu pengikut madzhab
empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Sedangkan yang 10 % ada yang Syiah, Zaidiyah,
Khawarij (Ibadhiyah) dan Mu’tazilah.
Dari 90 % pengikut madzhab empat tersebut,
apabila kita petakan akidah mereka adalah sebagai berikut:
1) Pengikut madzhab Hanafi, 30 % mengikuti
akidah Asya’irah, dan 70 % mengikuti Maturidiyah
2) Pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i, 100 %
mengikuti Asya’irah
3) Pengikut madzhab Hanbali, dalam akidah pecah
menjadi tiga kelompok.
Pertama, mayoritas mereka, atau sekitar 60 %
adalah pengikut Hasyawiyah, atau Mujassimah yang berkeyakinan Allah berdomisili
di Arasy. Kelompok ini disebut dengan Ghulat al-Hanabilah (kaum ekstrem madzhab
Hanbali).
Kedua, kelompok yang mengikuti madzhab
Asya’iroh, seperti Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, Rizqullah bin Abdul Wahhab al-Tamimi
dan Abul Faraj Ibnul Jauzi. Kelompok ini disebut dengan fudhala’ al-hanabilah
(kaum utama madzhab Hanbali).
Ketiga, mengikuti ajaran tafwidh, yakni tidak
melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat, tapi menyerahkan maknanya
kepada Allah subhanahu wata’ala.
Ketiga kelompok tersebut sama-sama mengklaim
sebagai representasi pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang akidah. Akan
tetapi meskipun ketiga kelompok tersebut berbeda dalam soal-soal akidah, mereka
sama-sama mengikuti ajaran tashawuf, melakukan istighatsah, tawasul, tabaruk
dan ziarah kubur.
Pada abad ketujuh Hijriah, kelompok Ghulat
al-Hanabilah hampir habis dan beralih haluan mengikuti Asya’irah, berkat
kebijakan Raja Zhahir Baibars al-Bindiqdari, yang mengangkat Hakim Agung (Qadhi
al-Qudhat) dari madzhab empat. Sehingga keempat madzhab tersebut sering
melakukan diskusi, dan dampak positifnya, penyakit tajsim (menjasmanikan Tuhan)
yang menggerogoti Hanabilah, sedikit demi sedikit terobati dan hampir habis.
Hanya saja setelah itu lahir Syaikh Ibnu
Taimiyah, yang kemudian berhasil meradikalisasi madzhab Hanbali dalam bidang
ushul dan furu’. Dalam bidang akidah, Ibnu Taimiyah mengembalikan mayoritas
Hanabilah menjadi pengikut Hasyawiyyah dan membabat habis kelompok Fudhala’
al-Hanabilah yang mengikuti Asya’irah. Sedangkan dalam bidang furu’, Ibnu
Taimiyah mengharamkan istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan wali dengan tujuan tabaruk. Dalam rangka
radikalisasi tersebut, Ibnu Taimiyah membuat perangkat ideologi yang disebut
dengan pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa
Shifat. Tauhid Uluhiyah dibuat untuk melarang amalan-amalan seperti
istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah. Sedangkan Tauhid Asma wa Shifat
dibuat untuk menyesatkan mayoritas umat Islam yang berakidah tanzih (menyucikan
Allah dari menyerupai makhluk) dan melakukan ta’wil terhadap nash-nash
mutasyabihat. Akan tetapi perlu dicatat, Ibnu Taimiyah masih membolehkan membaca
al-Qur’an di kuburan, tahlilan, dzikir bersama, maulid dan beberapa tradisi
shufi lainnya.
Pada abad kedua belas Hijriah, muncul Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Dia meradikalisasi madzhab
Hanbali, lebih keras dari Ibnu Taimiyah, dengan mengadopsi akidah Hasyawiyah.
Hanya saja, beberapa amalan yang diharamkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti
istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah dengan alasan Tauhid Uluhiyah, oleh
pendiri Wahabi tersebut dinaikkan status hukumnya menjadi syirik akbar, murtad
dan kafir. Sedangkan beberapa tradisi shufi yang dibolehkan oleh Ibnu Taimiyah,
seperti dzikir bersama, membaca al-Qur’an di kuburan, maulid, tahlilan dan
semacamnya diharamkan dengan alasan bid’ah dhalalah dan pemurnian agama.
Lalu bagaimana perbedaan mendasar dalam aspek akidah, antara Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, Wahabi dan Syiah?
Perbedaannya tidak sederhana, dan tidak semudah
Anda mengajak kami, mari kita bersatu menghadapi Syiah dan Liberal. Ini namanya
menyederhanakan persoalan.
Sekarang kita melihat perbedaan akidah, antara
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi dan Syiah. Contohnya dalam konsep tentang
ketuhanan. Dalam madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berkaitan dengan ketuhanan
ada konsep sifat wajib dua puluh bagi Allah. Sifat dua puluh ini, selain
sebagai internalisasi, atau membangun konsep yang benar tentang ketuhanan
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dipahami oleh ulama salaf, juga
sebagai respon terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan faksi-faksi di
luar Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti Mu’tazilah, Zaidiyah, Syiah, Wahabi dan
lain-lain.
Secara sederhana begini, sifat dua puluh
tersebut dibangun oleh para ulama dalam rangka menjawab pertanyaan paling
mendasar tentang Allah.
Misalnya tentang sifat wujud. Ada
sebuah pertanyaan, apakah Allah itu
ada? Jawabannya, Allah itu ada, dan keberadaannya bersifat wajib ‘aqli (wajibul
wujud). Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
Wahabi, Mu’tazilah dan para pengikutnya, yaitu Zaidiyah, Syiah, Khawarij dan Hizbut
Tahrir. Karena keempat kelompok tersebut secara ideologi mengikuti Mu’tazilah.
Pertanyaan kedua, apabila Tuhan itu ada,
lalu sejak kapan keberadaan-Nya? Jawabannya, Tuhan itu bersifat qidam,
keberadaan-Nya tanpa permulaan. Mengenai sifat qidam ini, umat Islam sepakat,
bahwa wujudnya Tuhan tanpa permulaan, baik Ahlussunnah, Mu’tazilah, Syiah dan
Wahabi. Hanya saja, dalam ajaran Hasyawiyah (yang diikuti Wahabi), sejak masa
Ibnu Taimiyah, menolak penggunaan istilah qidam bagi Allah, dan menganggapnya
bid’ah yang sesat, dengan alasan istilah qidam bagi Allah tidak ada dalam
al-Qu’an dan hadits. Padahal penetapan sifat Qidam tersebut didasarkan pada
dalil ijma’ ulama salaf. Oleh karena itu, para ulama sebelum Ibnu Taimiyah,
termasuk Hasyawiyah sendiri menerima istilah Qidam bagi Allah.
Pertanyaan ketiga, sampai kapan
wujudnya Tuhan? Jawabannya, Tuhan wajib bersifat baqa’, kekal dan abadi, yaitu
wujudnya tidak ada akhirnya. Dalam masalah ini, semua umat Islam sepakat,
karena istilah baqa’ bagi Tuhan memang ditegaskan dalam al-Qur’an.
Pertanyaan keempat, kalau Tuhan itu
memang Wujud, Qidam dan Baqa’, lalu Tuhan itu seperti apa? Jawabannya,
mayoritas umat Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Mu’tazilah dan Syiah sepakat
menjawab, Tuhan itu bersifat mukhalafah lil-hawaditsi, yaitu Dzat Tuhan berbeda
dengan apapun dari makhluk-makhluk-Nya yang baru. Sementara kaum Wahabi berbeda
dengan mayoritas umat Islam. Karena itu, Wahabi disebut kaum Musyabbihah
(menyerupakan Tuhan dengan makhluk) dan Mujassimah (menjasmanikan Tuhan).
Pertanyaan kelima, kalau begitu,
Tuhan tinggal di mana? Menjawab pertanyaan ini, ketiga kelompok tadi berbeda
lagi. Mu’tazilah dan Syiah menjawab, Tuhan ada di mana-mana. Wahabi menjawab
lain, dan berpendapat bahwa Tuhan bertempat di Arasy. Sedangkan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah yang merupakan mayoritas umat Islam menjawab, Tuhan tidak butuh
pada tempat. Tuhan ada sebelum adanya tempat.
Masalah ini sebenarnya perbedaan yang paling
utama dan paling pokok antara Wahabi dengan umat Islam yang lain dalam masalah
ketuhanan. Sehingga menurut Wahabi, umat Islam yang tidak meyakini Tuhan
berdomisili di Asrasy adalah kafir, karena telah melanggar Tauhid Asma wa
Shifat. Dan dengan Tauhid Asma wa Shifat ini pula, Wahabi menganggap umat Islam
yang melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat adalah sesat. Padahal
ta’wil dalam hal tersebut telah dilakukan oleh kaum salaf yang shaleh sejak
generasi sahabat. Jadinya, Tauhid Asma wa Shifat telah berdampat negatif,
karena menyesatkan umat Islam sejak generasi salaf yang shaleh.
Sementara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berpendapat
bahwa keyakinan Wahabi bahwa Tuhan berdomisili di Arasy adalah sesat dan
menyesatkan. Karena keyakinan tersebut dapat menjerumuskan pada kekufuran. Kaum
Wahabi memiliki keyakinan, bahwa setiap sesuatu yang ada pasti bertempat. Tuhan
itu ada, berarti bertempat. Kalau tidak bertempat, berarti tidak ada.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah berdialog
dengan seorang Ustadz Wahabi. Saya bertanya kepada dia, Tuhan itu bertempat apa
tidak? Dia menjawab, ya bertempat. Kalau tidak bertempat berarti tidak ada.
Karena setiap sesuatu yang ada pasti bertempat. Lalu saya tanya, kalau begitu,
tempat-Nya di mana? Dia menjawab, di Arasy. Lalu saya bertanya lagi, Arasy itu
makhluk apa bukan? Kalau Anda menjawab bukan makhluk, Anda kafir, karena
meyakini ada sesuatu selain Tuhan yang bukan makhluk Tuhan. Kalau Anda
menjawab, Arasy itu makhluk, saya akan bertanya lagi. Dia menjawab, tentu saja
Arasy itu makhluk. Lalu saya bertanya lagi, kalau begitu, sebelum Allah menciptakan
Arasy, Allah bertempat di mana? Akhirnya Wahabi tersebut tidak bisa menjawab,
dan berbicara ke mana-mana.
Pendapat Wahabi bahwa setiap sesuatu yang ada
pasti bertempat, jelas menjerumuskan pada kekufuran, ketika mereka dihadapkan
pada persoalan, di mana tempat Tuhan sebelum menciptakan tempat. Kalau mereka
menjawab, Tuhan tidak ada, berarti mereka kafir. Kalau mereka menjawab, Tuhan
ada tanpa tempat, berarti mereka paradoks dan membatalkan konsepnya sendiri.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga menolak konsep
Mu’tazilah dan Syiah yang mengatakan Tuhan ada di mana-mana. Karena pendapat
tersebut melecehkan Tuhan, dengan kesimpulan bahwa Tuhan ada di tempat-tempat
yang baik seperti Masjid dan tempat ibadah, juga di tempat-tempat yang tidak
baik seperti toilet dan semacamnya. Oleh karena itu, mayoritas umat Islam,
Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini Tuhan itu ada tanpa tempat.
Nah, dari jawaban saya yang agak panjang,
pertanyaan Anda, mungkinkan Nahdlatul Ulama bersatu dengan
Wahabi? Jawabannya, di sini harus dipahami bahwa perbedaan kami dengan Wahabi
tidaklah sederhana. Kami mengikuti
mayoritas umat Islam sejak generasi salaf yang shaleh dari kaum ahli tafsir,
ahli hadits dan ahli fiqih. Sedangkan Wahabi mengikuti kaum Hasyawiyah, Ibnu
Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi. Sedangkan Syiah mengikuti
Mu’tazilah.
Demikian wawancara kami dengan wartawan www.islampos.com