Selain kasus bom bunuh diri di Poso, kita di Indonesia dikagetkan lagi adanya seorang polwan yang dilarang untuk memakai jilbab ketika dinas. Sontak peristiwa ini pun menjadi gempar. Hal itu karena sangat tidak masuk akal, Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam, namun penggunaan jilbab terkesan dilarang di dalam lembaga kepolisian.
Kasus ini pun segera ditindaklanjuti oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Bahkah jika hal ini dipersulit oleh kapolri, maka MUI tidak segan-segan membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini tidak lain karena merupakan masalah nasional.
Lalu tahukah kamu, ternyata penggunaan jilbab di Indonesia tidak lepas dari sebuah perjuangan keras. Walau negara ini mayoritas berpenduduk muslim, namun dalam kenyataannya pernah ada pelarangan dalam menggunakannya ketika ada di sekolah-sekolah. Berikut ulasannya, sebagaimana dijelaskan dalam buku Revolusi Jilbab karya Alwi Alatas.
Babak Baru Perjuangan Jilbab di Indonesia
Kasus ini pun segera ditindaklanjuti oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Bahkah jika hal ini dipersulit oleh kapolri, maka MUI tidak segan-segan membawa perkara ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini tidak lain karena merupakan masalah nasional.
Lalu tahukah kamu, ternyata penggunaan jilbab di Indonesia tidak lepas dari sebuah perjuangan keras. Walau negara ini mayoritas berpenduduk muslim, namun dalam kenyataannya pernah ada pelarangan dalam menggunakannya ketika ada di sekolah-sekolah. Berikut ulasannya, sebagaimana dijelaskan dalam buku Revolusi Jilbab karya Alwi Alatas.
Babak Baru Perjuangan Jilbab di Indonesia
Setelah penegakan peraturan seragam sekolah yang
gencar dari sekolah-sekolah negeri sepanjang tahun 1984 dan 1985, selama
dua tahun berikutnya, 1986-1987, boleh dikatakan sepi dari kasus
pelarangan jilbab. Siswi-siswi sekolah negeri yang masih mengenakan
jilbab, terpaksa melepaskannya selama berada di lingkungan sekolah.
Namun, antara tahun 1988 hingga 1991, kasus pelarangan jilbab kembali
marak terjadi. Pada masa-masa ini, banyak siswi berjilbab yang
memberanikan diri menuntut hak mereka untuk mengenakan jilbab di
lingkungan sekolah. Tentu saja ini kembali menimbulkan konflik dengan
pihak sekolah dan banyak siswi yang terancam dikeluarkan dari sekolah.
Sejak awal tahun ajaran 1988/ 1987, cukup
banyak kasus pelarangan jilbab yang terjadi, bukan hanya di Jawa, tapi
juga di luar Jawa. Sekolah-sekolah yang mengalami kasus ini antara lain
SMAN 1, SMKK, SPG Kendari, dan SMAN Mandonga (seluruhnya di Sulawesi
Utara), SMAN 30 Jakarta, SMAN 1 Arga Makmur Bengkulu, SMAN 36, dan SMAN
83 Jakarta. Siswi-siswi yang tetap ingin bertahan dengan jilbab yang
dikenakannya, dikembalikan oleh sekolah kepada orang tua mereka
masing-masing dan akhirnya terpaksa harus pindah ke sekolah swasta.
Perbedaan menonjol konflik jilbab pada masa
ini (1988-1991) dibanding tahun-tahun sebelumnya adalah kasus pelarangan
jilbab pada masa ini lebih banyak diangkat oleh media massa dan
beberapa di antara kasus-kasus ini ada yang berlanjut ke pengadilan.
Agaknya, perjuangan para siswi berjilbab hingga ke pengadilan inilah
yang menarik perhatian pers untuk meliputnya dan pada gilirannya membuat
kasus pelarangan jilbab ini diketahui lebih luas oleh masyarakat.
Media massa yang meliput berita pelarangan jilbab pada masa ini adalah majalah Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, HarianTerbit, Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota.Media-media
massa ini juga menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya
menyatakan keprihatinan mereka terhadap apa yang menimpa siswi-siswi
berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Suara masyarakat yang umumnya
disampaikan melalui surat-surat pembaca di berbagai media massa bernada
cukup pedas mengecam para pejabat dan guru-guru sekolah negeri yang
menghalang-halangi siswinya berjilbab.
Adapun tokoh yang ikut merespon kasus ini
antara lain Dja’far Badjeber (Komisi E DPR RI), Sarwono Kusumaatmaja
(Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara), Nursyahbani
Katjasungkana (Direktur LBH Jakarta), KH Hasan Basri (Ketua MUI),
Hartono Mardjono (Wakil Ketua DPA), Mardinsjah (Sekjen PPP), Lukman
Harun (PP Muhammadiyah), Anwar Harjono (DDII), A.M. Saefudin (Direktur
Pesantren Ulil Albab Bogor), dan Drs. Ridwan Saidi.
Kasus yang pertama kali berlanjut ke
pengadilan adalah kasus pelarangan jilbab di SMAN 1 Bogor. Beberapa
siswi yang berjilbab di sekolah ini diperbolehkan hadir belajar di
kelas, tetapi di dalam absensi mereka dianggap tidak hadir dan seluruh
ulangan maupun praktikum yang mereka ikuti tidak dinilai oleh guru.
Selain itu, mereka juga dipanggil ke kantor sekolah setiap hari dan
ditekan dengan berbagai pertanyaan yang bernada intimidatif. Setelah
gagal untuk menyelesaikan hal ini secara musyawarah, empat orang tua
siswi berjilbab di sekolah ini menuntut Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor ke
pengadilan. Dalam mengajukan gugatannya, mereka dibantu oleh LBH
Jakarta.
Setelah penundaan sidang yang pertama, pada
tanggal 2 Desember 1988, dilakukan pertemuan antara orang tua siswi,
Ketua MUI Bogor, Walikota Bogor, kuasa hukum Departemen P dan K, Kandep P
dan K Bogor, dan Kanwil P dan K Jawa Barat. Pertemuan itu menyepakati
bahwa siswi-siswi berjilbab harus dikembalikan pada statusnya semula dan
Kepala SMAN 1 Bogor harus mengajukan surat permohonan maaf pada para
orang tua siswi. Pada sidang pengadilan berikutnya, Kepala SMAN 1 Bogor
menyampaikan permohonan maaf dan berjanji untuk menerima kembali
siswi-siswi berjilbab. Kuasa hukum siswi-siswi berjilbab menarik
tuntutannya dan masalah pun dianggap selesai.
Berbeda dengan sidang pengadilan di atas yang
relatif cepat dan dimenangkan oleh pihak siswi berjilbab, sidang kasus
jilbab yang menimpa sepuluh siswi SMAN 68 Jakarta berlangsung sangat
lama. Peristiwa bermula pada Bulan November 1988 ketika di sekolah
tersebut mulai bermunculan siswi-siswi berjilbab. Siswi-siswi ini
kemudian menerima tekanan terus menerus dari sekolah. Mereka harus
memilih antara melepas jilbab, keluar dari kelas, atau guru yang tidak
mengajar di kelas mereka. Tekanan yang diterima oleh siswi-siswi ini
meningkat terus hingga akhirnya mereka sama sekali tidak diizinkan masuk
ke dalam sekolah. Kebijakan ini didukung oleh Kanwil Departemen P dan K
DKI Jakarta.
Setelah jalan musyawarah tidak membuahkan
hasil, orang tua siswi-siswi ini kemudian menempuh jalur hukum lewat
bantuan LBH Jakarta. Nursyahbani, yang menjadi kuasa hukum siswi-siswi
berjilbab, kemudian menyurati Kanwil P dan K DKI Jakarta dan Menteri P
dan K. Karena tidak memperoleh hasil yang diharapkan, pada tanggal 2
Maret 1989, kasus ini resmi diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Setelah beberapa kali sidang, pengadilan memutuskan untuk menolak
seluruh tuntutan penggugat. Para penggugat kemudian memutuskan untuk
naik banding. Dari sepuluh orang tua siswi berjilbab, kini tinggal lima
yang meneruskan gugatan ke pengadilan tinggi.
Selama proses pengadilan berlangsung,
siswi-siswi ini diterima belajar di lingkungan sekolah-sekolah
Muhammadiyah ”dengan status belum pindah dari SMAN 68.” Karena
panjangnya proses pengadilan, siswi-siswi ini akhirnya terpaksa mengurus
kepindahan mereka secara resmi dari SMAN 68.
Perjuangan siswi-siswi ini di pengadilan
tinggi pun rupanya mengalami kekalahan. Namun, pada tanggal 19 Desember
1990 mereka mengajukan kasasi. Bagaimana jalannya sidang setelah itu
tidak lagi menarik perhatian media massa. Berita mengenai sidang
pengadilan ini baru muncul beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun
1995, dengan kemenangan di pihak siswi-siswi berjilbab. Padahal, sejak
1991 jilbab sudah diizinkan di sekolah-sekolah negeri.
Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di
sekolah-sekolah negeri dan ruang pengadilan, kasus jilbab juga ikut
merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal, sempat terjadi kasus
penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas keamanan sebuah toserba
karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga Rp. 160,00. Yang
lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun
di pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris
meninggal dunia dihakimi masa karena diteriaki sebagai penebar racun.
Kendati pada awalnya kejadian ini sangat merugikan wanita-wanita yang
mengenakan jilbab, tetapi setelah terbukti bahwa semua itu tidak benar
dan nyata-nyata telah memojokkan wanita-wanita berjilbab, simpati dan
pembelaan yang lebih besar mengalir pada para wanita – dan tentu saja
siswi-siswi – berjilbab.
Semua peristiwa itu menimbulkan reaksi dan
kemarahan umat Islam. Pada awal November 1989 berkumpul para pemuda dan
mahasiswa yang mewakili 60 lembaga Islam se-Bandung di Universitas
Padjadjaran untuk berunjuk rasa. Kehadiran mereka dipicu oleh isu
penyebaran racun oleh wanita berjilbab yang mereka anggap sangat
memojokkan Islam. Tanggal 21 Desember 1989 kembali digelar demonstrasi
di Bandung menuntut kebebasan memakai jilbab.
Sementara itu, pembicaraan intensif mengenai
masalah ini bergulir terus antara MUI dan Departemen P dan K yang
diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM (Dikdasmen),
Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menyempurnakan
peraturan seragam sekolah. Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK
seragam sekolah yang baru, yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani
secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak.
Hal ini tentu saja disambut gembira oleh
siswi-siswi berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan
mereka. Tidak sedikit dari siswi-siswi berjilbab ini yang langsung
memberanikan diri mengenakan jilbab di sekolah tidak lama setelah
ditandatanganinya SK tersebut. Walaupun, SK tersebut sebenarnya baru
benar-benar berlaku pada tahun ajaran baru 1991/ 1992 yang jatuh pada
Bulan Juli. Pihak Humas P dan K meminta kepala-kepala sekolah negeri
agar mentolerir hal ini. Dengan berlakunya SK 100 ini, maka persoalan
jilbab di Indonesia secara umum sudah bisa dianggap selesai.