Demo besar-besaran terjadi di Istanbul Turki pada sabtu (1/6). Protes tersebut berawal pada 26 Mei lalu, ketika demonstran berupaya menghalangi buldoser yang akan menghancurkan Taman Gezi yang berada di pusat kota Lapangan Taksim.
Taman Gezi adalah sebuah taman kecil yang berada di pusat kota yang memiliki kurang lebih 30 pohon sebagai area penghijauan. Lalu, mengapa sebuah taman kecil yang akan dirubah fungsi menjadi sebuah mall mampu memicu demo besar-besaran? Apa benar penyebabnya hanya ini?
Ada 3 fakta sejati dibalik demo Turki kali ini, yaitu Penghijauan, Alkohol dan Oposisi AKP-Erdogan.
Kalau demo kali ini dipicu oleh pembongkaran sebuah taman kecil, sepertinya isu ini tidak akan menarik untuk ditiupkan. Faktanya selama AKP-Erdogan memimpin, pemerintah telah berhasil membangun 120 hutan. Jumlah yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan sebuah taman kecil berisi 30 pohon penghijauan.
Dan realitas di lapangan, para pendemo pun tidak mengusung slogan-slogan penghijauan selama demo berlangsung, justru slogan yang paling sering di teriakan adalah “turunkan Erdogan”. Spanduk dan bendera yang mereka bawa sejak awal demo juga bukan simbol pro-penghijauan, semua berisi caci maki terhadap AKP dan “turunkan Erdogan”. Jadi terlalu dini jika disimpulkan bahwa demo kali ini hanya dipicu oleh pembongkaran sebuah taman kecil di pusat kota.
Fakta yang kedua tentang Alkohol. Demo kali ini memang memobilisasi orang dan pihak yang awalnya protes terhadap aturan ulang tentang pembelian alkohol. Dimana dalam draft UU baru, diatur pembelian minuman beralkohol dibatasi hingga jam tertentu seperti di negara Eropa lainnya. Juga memuat aturan lain seperti cara minum, misalnya tidak boleh minum sambil berjalan, mengemudi mobil dan tidak boleh membeli di atas jam tertentu.
Protes kali ini juga disulut oleh protes dari perusahaan bir terbesar di Turki, Efes. Efes adalah perusahaan bir yang memonopoli hampir 80% pasar alkohol di Turki. Efes juga beranak-pinak secara perusahaan seperti Becks, miller, Warstiener & Fosters.
Efes Pilsen adalah perusahaan yang berkembang di daerah Izmir, daerah yang sampai sekarang jadi basis suara dari oposisi.
Fakta yang ketiga, selain soal isu penghijauan & ‘solidaritas’ komunitasas bar-bar, adalah Oposisi.
AKP adalah partai yang memimpin dan mendulang kepercayaan tinggi dari rakyat Turki dengan 327 kursi dari total 550 kursi di parlemen. Jadi sangat wajar kalau demo kali ini ditunggangi pihak oposisi, apalagi tahun depan Turki akan menggelar Pemilu presiden pertama yang akan mengubah sistem pemerintahan dari Parlemen ke Presidentil. Dan diprediksi 90% Erdogan akan kembali terpilih, jadi demo Turki kali ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena soal Oposisi. Dari awal demo kali ini memang sudah di setting rusuh.
Kalau kita cermati, isu yang diangkat oposisi kali ini kurang cerdas dan kurang smut. Seharusnya bisa di lebih konstruktif dan murni mengkritik kekurangan pemerintah, bukan mendompleng isu lainnya yang kurang populer. Dan mudah di tebak, para pendemo meledak ‘marah’ hanya karena urusan yang ‘sepele’ hanya soal pembatasan jam pembelian alkohol. Sangat tidak seksi.
Seharusnya jika pihak oposisi ingin meraup simpati rakyat dapat mengangkat isu yang langsung bersentuhan dengan rakyat, tema perumahan misalnya.
Seperti kita ketahui, Pemerintah AKP, sejak berkuasa di 2002, telah memulai proyek terpuji “Toki” (Pembangunan Perumahan Administrasi Turki). Lembaga pengelola proyek ini merupakan instrumen negara yang membeli tanah dari petani untuk dibangun rumah, lalu keuntungannya untuk membangun sekolah, shopping center & Rumah Sakit. Jadi masyarakat miskin banyak diberi rumah dari sini. Jadi memang kota Istanbul berkurang hijau karena banyak dibangun perumahan untuk rakyat miskin. Memang harus diakui, selama AKP memimpin Turki jauh lebih indah. Namun sebenarnya masih ada faktor kesenjangan, kita masih melihat adanya rumah-rumah liar, 95% lainnya tinggal vertikal di apartemen sederhana sementara banyak berdiri rumah mewah untuk warga yang super kaya.
Seharusnya pendemo bisa mengkritik bagaimana pemerintah dapat membuat perencanaan taman dan daerah hijau yang lebih baik, bukan mengangkat tema elitis dan alkohol. Jadi wajar saja kalau demo yang di klaim ‘besar-besaran’ ini hanya bertahan 48 jam saja, tidak mendatangkan simpati masyarakat karena hanya menonjolkan kekerasan dan radikal saja.
Pelajaran penting dari demo Turki adalah, selain pihak oposisi gagal menemukan isu dan menyusun argumentasi solusi mereka juga gagal menularkan emosi kepada masyarakat luas, sementara militansi demonstran ‘sekuler’ di Turki hanya ada di akhir pekan saja. Hari-hari kuliah dan kerja, mereka tidak bersedia bolos untuk memperjuangkan paham mereka. (as/sbb/dakwatuna)