Dahsyatnya aksi kelompok sekuler-liberal selama satu bulan terakhir
ternyata tidak mampu menggagalkan referendum. Bahkan, tahap pertama
referendum yang digelar Sabtu (15/12) kemarin menunjukkan lebih dari 56
persen warga Mesir di 10 provinsi mendukung Mursi, menerima konstitusi
baru yang oleh kelompok sekuler-liberal dinilai terlalu “islami.”
Hasil perhitungan referendum Mesir tahap pertama itu tidak lepas dari kematangan politik Ikhwanul Muslimin dalam menghadapi skenario kelompok sekuler-liberal sebagai berikut:
1. Menggagalkan isu dengan mengadirkan fakta
Isu pertama yang digulirkan kelompok sekuler-liberal dengan demo-demonya sejak 15 Nopember lalu adalah mencitrakan Mursi sebagai diktator baru. Isu itu digulirkan dengan cepat menyusul dekrit Presiden Mursi sehari sebelumnya. Isu itu bisa dipatahkan oleh Mursi yang membuka dialog dan menjelaskan tujuan dekrit, serta peran kader-kader Ikhwan membuka kedok demonstran yang ternyata memiliki hubungan dengan Zionis Israel. Umat Islam kemudian bisa membaca bahwa gerakan demonstrasi anti-Mursi bertepatan dengan “kekalahan” Israel di Gaza, sehingga negara Zionis itu membalas Mursi yang telah memperkuat Gaza.
2. Tidak terprovokasi skenario musuh
Kelompok sekuler-liberal sejak awal menggalang demonstrasi memancing kemarahan Ikhwan dengan menghancurkan kantor-kantornya dan mencederai kadernya. Namun, Ikhwan yang telah puluhan tahun ditempa dengan tribulasi yang jauh lebih hebat, tampak matang menghadapi situasi itu.
Pada pekan pertama demonstrasi, Ikhwan bersikap diam meskipun kantornya dibakar. Kader yang cedera segera ditolong tetapi tidak menginstruksikan membalas. Pengamat yang mengetahui kekuatan Ikwan menyimpulkan, sikap Ikwan itu sangat tepat. Meskipun dengan kekuatannya Ikhwan mampu menggulung kelompok sekuler-liberal, itu tidak dilakukannya. Dan sikap itu cukup mendatangkan simpati publik. Skenario kelompok sekuler-liberal untuk menjadikan Ikhwan sebagai musuh rakyat ternyata justru berbalik.
3. Mengorbankan sarana demi tujuan
Demonstrasi yang semakin membesar pada pekan berikutnya diikuti dengan sikap bijak Mursi. Demonstran saat itu tidak mau berdialog kecuali Mursi membatalkan dekrit dan menunda referendum. Tuntutan pertama dipenuhi Mursi. Dekrit dibatalkan. Tetapi referendum tetap digelar sesuai jadwal.
Dibatalkannya dekrit membuat sebagian pengamat menilai Mursi telah kalah dan demonstran menang. Bahkan tokoh-tokoh Salafi tidak terima dengan “kekalahan” Mursi itu. Tetapi kematangan politik itu baru disadari banyak pihak di kemudian hari bahwa meskipun dekrit dibatalkan, asalkan referendum berhasil maka tujuan perbaikan hukum dan pemerintahan itu bisa tercapai.
4. Mengindari penggunaan senjata dan kekerasan
Meskipun berada di pihak yang benar, tetapi jika menggunakan senjata dan kekerasan dalam situasi Mesir saat ini, media dan Barat akan segera memposisikan pemerintahan Mursi sebagai pihak yang salah. Skenario itu yang hendak dilakukan oleh kelompok sekuler-liberal pada Rabu 5 Desember lalu. Mereka mengepung istana presiden dan menuntut Mursi lengser.
Kematangan Ikhwan tampak jelas melalui aksi tandingan yang jumlah massanya lebih banyak. Aksi massa yang bertujuan mengkudeta Mursi itu tidak dihadapi dengan tindakan represif aparat tetapi “dihadapi” dengan lautan massa pendukung Mursi untuk menunjukkan bahwa jumlah orang yang menginginkan Mursi mundur sebenarnya tidaklah banyak.
Mungkin karena tujuannya gagal, sejumlah orang anti-Mursi mengamuk dan menyerang massa pro Mursi dengan bom molotov. Enam kader Ikhwan tewas (baca: syahid, insya Allah) dan puluhan lainnya terluka akibat serangan anarkis itu. Korban jiwa itu tentu sangat besar nilainya, tetapi justru karena peristiwa itulah publik Mesir dan dunia mengetahui anarkisme kelompok sekuler-liberal. Aksi anarkis mereka memang membunuh kader Ikhwan, tetapi juga sekaligus membunuh kepercayaan dan rasa simpatik terhadap mereka sendiri.
5. Menegaskan fakta dengan kata-kata
Setelah fakta-fakta terungkap, saatnya kata-kata menegaskannya. Setelah tersuguhkan data dan peristiwa, saatnya penjelasan verbal merangkai alur kesimpulannya. Dan itula yang dilakukan oleh Mursyid Am Ikhwanul Muslimin Muhammad Badi pada 9 Desember 2012. Dalam pernyataan resminya ia menjelaskan bahwa tewasnya delapan kader dan rusaknya 28 kantor Ikhwan adalah bukti bahwa Ikhwan –seperti sebelumnya- tidak pernah menggunakan jalan kekerasan, dan Ikhwan bukanlah penguasa Mesir. Jika musuh Ikhwan marah mengapa mereka harus merusak Mesir, bukankah sebenarnya yang tengah bertarung adalah dua kelompok politik, yang harusnya diselesaikan melalui jalur demokrasi bukan dengan kekerasan.
Pada akhirnya, warga Mesir kembali mampu melihat ketulusan Ikhwan dan kelompok Islam, serta memandang jernih bahwa perubahan konstitusi adalah kebaikan. Bukan sesuatu yang menakutkan dan membelenggu kebebasan, khususnya bagi kalangan minoritas seperti Kristen Koptik. Tentu, segalanya terjadi dengan izin Allah. Tahap pertama referendum Mesir telah berakhir. Akumulasi suara dari 10 provinsi menunjukkan dukungan kepada Mursi dengan menerima konstitusi yang baru. Namun, 17 provinsi lainnya baru akan memberikan suara pada pekan depan. Bagaimana hasilnya? Wallaahu a’lam. [Abu Nida]
Hasil perhitungan referendum Mesir tahap pertama itu tidak lepas dari kematangan politik Ikhwanul Muslimin dalam menghadapi skenario kelompok sekuler-liberal sebagai berikut:
1. Menggagalkan isu dengan mengadirkan fakta
Isu pertama yang digulirkan kelompok sekuler-liberal dengan demo-demonya sejak 15 Nopember lalu adalah mencitrakan Mursi sebagai diktator baru. Isu itu digulirkan dengan cepat menyusul dekrit Presiden Mursi sehari sebelumnya. Isu itu bisa dipatahkan oleh Mursi yang membuka dialog dan menjelaskan tujuan dekrit, serta peran kader-kader Ikhwan membuka kedok demonstran yang ternyata memiliki hubungan dengan Zionis Israel. Umat Islam kemudian bisa membaca bahwa gerakan demonstrasi anti-Mursi bertepatan dengan “kekalahan” Israel di Gaza, sehingga negara Zionis itu membalas Mursi yang telah memperkuat Gaza.
2. Tidak terprovokasi skenario musuh
Kelompok sekuler-liberal sejak awal menggalang demonstrasi memancing kemarahan Ikhwan dengan menghancurkan kantor-kantornya dan mencederai kadernya. Namun, Ikhwan yang telah puluhan tahun ditempa dengan tribulasi yang jauh lebih hebat, tampak matang menghadapi situasi itu.
Pada pekan pertama demonstrasi, Ikhwan bersikap diam meskipun kantornya dibakar. Kader yang cedera segera ditolong tetapi tidak menginstruksikan membalas. Pengamat yang mengetahui kekuatan Ikwan menyimpulkan, sikap Ikwan itu sangat tepat. Meskipun dengan kekuatannya Ikhwan mampu menggulung kelompok sekuler-liberal, itu tidak dilakukannya. Dan sikap itu cukup mendatangkan simpati publik. Skenario kelompok sekuler-liberal untuk menjadikan Ikhwan sebagai musuh rakyat ternyata justru berbalik.
3. Mengorbankan sarana demi tujuan
Demonstrasi yang semakin membesar pada pekan berikutnya diikuti dengan sikap bijak Mursi. Demonstran saat itu tidak mau berdialog kecuali Mursi membatalkan dekrit dan menunda referendum. Tuntutan pertama dipenuhi Mursi. Dekrit dibatalkan. Tetapi referendum tetap digelar sesuai jadwal.
Dibatalkannya dekrit membuat sebagian pengamat menilai Mursi telah kalah dan demonstran menang. Bahkan tokoh-tokoh Salafi tidak terima dengan “kekalahan” Mursi itu. Tetapi kematangan politik itu baru disadari banyak pihak di kemudian hari bahwa meskipun dekrit dibatalkan, asalkan referendum berhasil maka tujuan perbaikan hukum dan pemerintahan itu bisa tercapai.
4. Mengindari penggunaan senjata dan kekerasan
Meskipun berada di pihak yang benar, tetapi jika menggunakan senjata dan kekerasan dalam situasi Mesir saat ini, media dan Barat akan segera memposisikan pemerintahan Mursi sebagai pihak yang salah. Skenario itu yang hendak dilakukan oleh kelompok sekuler-liberal pada Rabu 5 Desember lalu. Mereka mengepung istana presiden dan menuntut Mursi lengser.
Kematangan Ikhwan tampak jelas melalui aksi tandingan yang jumlah massanya lebih banyak. Aksi massa yang bertujuan mengkudeta Mursi itu tidak dihadapi dengan tindakan represif aparat tetapi “dihadapi” dengan lautan massa pendukung Mursi untuk menunjukkan bahwa jumlah orang yang menginginkan Mursi mundur sebenarnya tidaklah banyak.
Mungkin karena tujuannya gagal, sejumlah orang anti-Mursi mengamuk dan menyerang massa pro Mursi dengan bom molotov. Enam kader Ikhwan tewas (baca: syahid, insya Allah) dan puluhan lainnya terluka akibat serangan anarkis itu. Korban jiwa itu tentu sangat besar nilainya, tetapi justru karena peristiwa itulah publik Mesir dan dunia mengetahui anarkisme kelompok sekuler-liberal. Aksi anarkis mereka memang membunuh kader Ikhwan, tetapi juga sekaligus membunuh kepercayaan dan rasa simpatik terhadap mereka sendiri.
5. Menegaskan fakta dengan kata-kata
Setelah fakta-fakta terungkap, saatnya kata-kata menegaskannya. Setelah tersuguhkan data dan peristiwa, saatnya penjelasan verbal merangkai alur kesimpulannya. Dan itula yang dilakukan oleh Mursyid Am Ikhwanul Muslimin Muhammad Badi pada 9 Desember 2012. Dalam pernyataan resminya ia menjelaskan bahwa tewasnya delapan kader dan rusaknya 28 kantor Ikhwan adalah bukti bahwa Ikhwan –seperti sebelumnya- tidak pernah menggunakan jalan kekerasan, dan Ikhwan bukanlah penguasa Mesir. Jika musuh Ikhwan marah mengapa mereka harus merusak Mesir, bukankah sebenarnya yang tengah bertarung adalah dua kelompok politik, yang harusnya diselesaikan melalui jalur demokrasi bukan dengan kekerasan.
Pada akhirnya, warga Mesir kembali mampu melihat ketulusan Ikhwan dan kelompok Islam, serta memandang jernih bahwa perubahan konstitusi adalah kebaikan. Bukan sesuatu yang menakutkan dan membelenggu kebebasan, khususnya bagi kalangan minoritas seperti Kristen Koptik. Tentu, segalanya terjadi dengan izin Allah. Tahap pertama referendum Mesir telah berakhir. Akumulasi suara dari 10 provinsi menunjukkan dukungan kepada Mursi dengan menerima konstitusi yang baru. Namun, 17 provinsi lainnya baru akan memberikan suara pada pekan depan. Bagaimana hasilnya? Wallaahu a’lam. [Abu Nida]