Dok.Okezone
Namun, Naomi mengkritik program reformasi yang disponsori oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia. Badan-badan keuangan dunia itu meraup untung dari berbagai krisis dunia, khususnya krisis utang 1982-1991 di Mesir.
Skema neoliberalisasi antidemokratis 1980-an sampai awal abad ke-21 tersebut diterapkan ketika kekuatan kapitalis global mengalirkan pinjaman dan bantuan sekitar USD15 miliar dolar AS ke Mesir.
Tujuannya adalah konsolidasi kekuasaan ruling-class baru yang berbasis jaringan kapital global dan militer. Proses demokrasi pun diperalat untuk memuluskan liberalisasi dan privatisasi sektorsektor produksi Mesir. Hasil transformasi neoliberal seperti ini, menurut Mouffe (2009), lazimnya adalah paradoks antara kebebasan (liberalisme) dan kesetaraan (demokrasi).
Bahkan pada 2009 Bank Dunia melabeli Mesir sebagai “the world’s 10 most active reformers”. IMF memuji Pemerintah Mesir yang menerapkan “careful fiscal management” dan menyatakan bahwa kinerja ekonomi Mesir lebih baik dari yang diharapkan (IMF, 2010). Namun, IMF dan Bank Dunia mengabaikan aksi protes rakyat terhadap proyekproyek neoliberal.
Kini Presiden Mesir, Mohamad Morsi, berupaya keluar dari situasi paradoksal tersebut dengan merilis agenda referendum konstitusi. Morsi hendak memasukkan unsur perlindungan hak-hak sipil (civil rights) yang banyak diabaikan oleh program neoliberal di Mesir selama ini (Jeffrey Fleishman,2012).
Noeliberal Mesir
Pada 1950-an, untuk membebaskan rakyat Mesir dari kungkungan kolonialisme dan feodalisme Gamal Abdel Nasser menciptakan tata ekonomi sangat sentralistis dan otoritarian. Sejak meninggalnya pemimpin nasionalis ini kira-kira 30 tahun silam Mesir mengalami fase transformasi neoliberal. Nasionalisme ekonomi Nasser berakhir ketika Presiden Mesir Anwar Sadar merilis kebijakan infitah atau keterbukaan zona Mesir ke sistem kapitalisme fosil Amerika Serikat (AS).
Akibat infitah, transformasi Mesir terpateri ke arus kapital dunia. Transformasi neoliberal ini diakselerasi oleh Presiden Husni Mubarak sejak 1981. Ketika Mesir terlilit utang, 1982- 1990, Mubarak meminta bantuan Paris Club guna restrukturisasi.
IMF menerapkan program penyesuaian struktural sebagai syarat aliran kredit ke Mesir. Antara lain Pemerintah Mesir harus mengurangi anggaran jasa-jasa sosial, relaksasi kontrol harga-harga, memotong subsidi-subsidi, deregulasi dan privatisasi industri, kontrol inflasi, dan liberalisasi aliran kapital.
Transformasi neoliberal versi IMF ini mempreteli solidaritas kawasan nasionalis Arab Nasser. Di sisi lain, tercipta jaringan baru korporasi elite kapital dunia di Mesir. Transformasi neoliberal Mesir selama hampir 20 tahun (1991-2011) telah memicu risiko sosial-ekonomi-politik Mesir akhir-akhir ini. Misalnya ada ketimpangan, kemiskinan, rapuhnya jaminan sosial kelompok masyarakat kurang mampu, dan nestapa sosial ekonomi lainnya.
Arena negara neoliberal Mesir melucuti jaminan sosial, swastanisasi layanan sosial, privatisasi jasa kesehatan masyarakat dan banyak badan usaha milik negara di sana. Kondisi Mesir itu melahirkan paradoks pertumbuhan ekonomi era Mubarak 1981- 2006 dengan GDP naik hampir empat kali lipat,namun ketimpangan sosial meroket. Kekayaan dan produksi meningkat, namun upah tidak naik (Yasser El- Shimy, 2006).
Akibatnya, program transformasi neoliberal hanya melayani konsolidasi kekuasaan ruling-class baru dan pemusatan kekayaan pada elite korporasi. Risiko lainnya, pada periode 2004-2010 terjadi lebih dari 3.000 aksi buruh di Mesir, bermula dari buruh tekstil, bangunan, transportasi, makanan, dan sistem Metro di Kairo.
Aksi protes buruh timbul karena kondisi sosial memburuk akibat lonjakan harga pangan sekitar 24 persen pada 2007. Risiko berikutnya adalah pemerintah merilis kebijakan kontra-prinsip neoliberal dengan menerapkan program subsidi guna menstabilkan hargaharga (Anand Gopal,2011).
Amandemen konstitusi
Proses reformasi neoliberal Mesir sejak 1991 mengubah tata ekonomi Mesir dan pola hubungan rakyat dengan negara. Kontrak sosial awal dirumuskan dalam Konstitusi Mesir tahun 1971 dan diamendemen pada 1980. Konstitusi itu merumuskan tata ekonomi demokrasi sosial Mesir yang menetapkan prinsip-prinsip sosial dan perencanaan ekonomi oleh negara.
Namun konstitusi Mesir itu diamendemen pada 2007, yang terutama mengubah tata ekonomi Mesir, ekuitas sosial, dan peran ekonomi negara. Amandemen ini memberi peran dominan kepada kekuatan pasar bebas. Negara hanya diberi tanggung jawab di bidang regulasi ekonomi. Ketentuan ini sangat berbeda dengan kontrak sosial rakyat dan negara dari konstitusi pra-amendemen.
Khususnya amandemen peran utama negara mengalokasi sumber, mengelola ekonomi dan menentukan cabang-cabang produksi penting untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya, Mesir bergulir dari model kontrol negara terhadap ekonomi nasional ke model kontrol kekuatan pasar (neoliberal) terhadap ekonomi nasional sejak awal 1990-an. Kini upaya referendum konstitusi dari Presiden Morsi membuka peluang dan tantangan.
Di satu sisi, Morsi bakal menghadapi resistensi dari elite-korporasi global. Sebab, sejak Perang Dunia II kebijakan AS di Timur Tengah difokuskan pada kontrol pasokan energi dunia. Maka pemimpin seperti Mubarak didukung dan diberi ruang untuk mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.
Konsesinya adalah Mubarak bersikap kooperatif dalam kerangka kapitalisme global yang didominasi oleh AS dan melayani kepentingan ekonomi dan strategis AS.
Kepentingan utama AS di Mesir adalah mencegah desain konstitusi yang melahirkan model transformasi dan kepemimpinan yang dapat melawan hegemoni AS di Timur Tengah. Maka nasionalisme kawasan ala Nasser perlu dilucuti agar model Nasser tidak ditiru oleh negara-negara lain, khususnya dalam rangka melaksanakan transformasi alternatif dan model sosial nonkapitalis.
Apalagi, secara historis Mesir merupakan satu pusat kehidupan kultur Arab. Itu berarti lahirnya rezim anti-imperialis atau sosialis di Mesir tentu mencemaskan AS dan Eropa. Dari sudut pandang peta energi dunia, globalisasi pola hubungan pasar-kapitalis dan risiko-risiko neoliberalisme, menurut Altvater dan Mahnkopft (1997), hanya dimungkinkan oleh pasokan, akses konsisten, dan keamanan aliran energi fosil—batu bara, minyak, dan gas.
Ini pula kepentingan utama AS melalui Mesir di Timur Tengah. Karena itu, menurut David Harvey (2006), neoliberalisme selalu memiliki dua sisi: proyek politik dan proyek ekonomi. Secara politik, neoliberalisme mudah dipahami dari program konsolidasi dan rekonstruksi class-power. Ini pula yang selama ini terjadi akibat transformasi neoliberal sekaligus tantangan dari referendum konstitusi di Mesir saat ini.
Adapun peluangnya adalah mengadopsi ekuitas sosial yang diabaikan oleh transformasi neoliberal di Mesir. Kisah transformasi neoliberal di Mesir tampaknya tidak berbeda jauh dengan program reformasi sosial-ekonomi IMF yang diterapkan di Indonesia pasca-krisis keuangan 1998.
Seperti biasa, program reformasi IMF selama ini selalu bernapas neoliberal. Maka risiko bawaannya mesti sama, antara lain terpretelinya nasionalisme ekonomi suatu negara.
MARWAN JA’FAR
Ketua FPKB DPR, Ketua Dewan Pembina Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba)
(sumber: nasional.sindonews.com)