Penerapan Syariah Islam, Harus juga melihat Realita

Berikut sedikit ulasan dari pengamat politik Mesir, Fahmi Howeidi. Mungkin ulasan ini sudah kadaluarsa, namun dalam pembahasannya dapat kita ambil pelajaran penting: apa yang perlu diperhatikan dalam penegakan syariah.



Fahmi Howeidi Demonstran Menuntut Penerapan Syariah Islam, Terbutakan Realita

Sebuah artikel dari pengamat politik Mesir, Fahmi Howeidi yang membahas mengenai para demonstran yang menuntut penerapan syariah Islam secara tekstual diterapkan dalam konstitusi Mesir adalah karena mereka terbutakan oleh realita yang ada di Mesir. Mereka menganggap bahwa semua masalah bisa selesai setelah Mesir menerapkan Syariah Islam, padahal jumlah demonstran itu hanya beberapa ribu saja. Tetapi masyarakat Mesir yang belum memahami benar-benar Syariah Islam lebih banyak dari mereka. Berikut artikel dari Fahmi Howeid, pengamat politik Mesir.
Pada hari Jumat, ketika beberapa ribu pria dan wanita di Tahrir Square, menuntut diterapkannya Syariah Islam, mereka membawa spanduk dan berbagai teriakan-teriakan perjuangan.

Pada hari yang sama, Surat Kabar Al-Ahram menerbitkan sebuah laporan mengenai 40 juta orang Mesir dalam bahaya, sekitar 50% dari desa Mesir telah mengalami pencemaran sanitasi mereka makan dan minum dari air perkebunan yang dicampur dengan berbagai sisa-sisa kotoran, serta berbagai epidemi penyakit yang mematikan.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Mesir harus mengeluarkan sedikitnya sekitar 80 Juta Pound, dan dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya 10 hingga 15 tahun dalam menanggulangi hal tersebut.
Masih di surat kabar yang sama dan hari yang sama, laporan panjang mengenai utang Pemerintah Mesir hasil dari warisan pemerintahan rezim sebelumnya yang mencapai lebih dari 1 trilyun.
Demonstran yang berada di Lapangan Tahrir pada hari itu telah tidak perduli lagi dengan masalah negeri ini (Mesir). Mereka juga mungkin tidak membaca mengenai laporan ini, mereka telah disibukkan dengan demonstrasi mereka sendiri, dan lebih memilih untuk membuat sebuah “resep ajaib” yang mereka anggap bisa langsung menjadikan Mesir berhasil sebagai sebuah negara, yaitu dengan menerapkan hukum Allah. Yang mereka inginkan bahwa Mesir harus menerapkan Hukum Allah melalu konstitusi Mesir. Padahal Pemerintah sudah berusaha untuk mengakomodasi sebuah formulasi konstitusi yang mungkin sedikit berbeda dalam makna eksplisit. Seperti masalah moral, kebudayaan dan yang lainnya. Mesir sudah mulai membuat formulasinya lebih cenderung kepada Syariah Islam walaupun bukan dalam bentuk tekstual.
Apa yang telah saya (Fahmi Howeidi) perhatikan, bahwa sebagian besar dari para demonstran hanya ingin menyuarakan penerapan hukum Allah secara tekstual, mereka pun mengatakan bahwa hukum Allah tidak hadir dari Mesir selama bertahun-tahun yang lalu. Mereka telah memasuki arena baru setelah lepas dari bayang-bayang era rezim otoriter yang panjang.
Para demonstran yang menuntut Mesir agar menerapkan Hukum Allah seperti orang-orang yang hidup dalam kesendirian dan keegoisan mereka. Mengapa mereka tidak memahami sesuatu persoalan dari realitas yang sudah terjadi pada masyarakat Mesir saat ini? Sehingga mereka mengacuhkan bagaimana lingkungan di sekitar mereka, sebagaimana mereka telah putus asa dan melarikan diri dengan merasa pemahaman tekstual agama yang mereka pahami adalah kebenaran mutlak menurut mereka. Mereka tidak melihat Islam sebagai tujuan dan nilai-nilai esensi dari ajarannya, tetapi mereka melihat tekstual dan sekedar ritual yang ingin diseragamkan dalam perbedaannya. Padahal ini bisa menjadi benturan tajam antar rakyat Mesir.
Hal inilah yang beberapa orang dan partai Politik Islam sudah sadar dan menyadari mengenai realitas di sekitar mereka, sehingga mereka tidak keluar untuk ikut demonstrasi pada hari Jumat. Kita bisa melihat statemen mengenai ketidakhadiran Ikhwanul Muslimin dan partai Salafi An-Nour yang mereka sudah menyatakan diri tidak akan ikut melakukan demonstrasi tersebut.
Para demonstran yang menuntut Mesir untuk menggunakan Hukum Allah adalah para pemain pendatang baru di Mesir. Sikap mereka lebih kasar, dan mendistorsi citra Islam kedalam diri mereka sendiri. Hal ini sebagaimana gerakan Taliban di Afghanistan, Mali dan beberapa negara Afrika Barat. Pada awal revolusi Mesir, mereka tidak terlihat dan terlibat dalam menjatuhkan rezim otoriter, tetapi setelah Revolusi, mereka tumbuh subur karena kebebasan dan asas demokrasi. Setelah semua ini selesai, mereka mengklaim diri mereka adalah pahlawan sehingga berhak menuntut apa yang mereka inginkan, tentu ini salah besar.
Sebagian besar dari mereka lebih disibukkan dengan pertempuran untuk meruntuhkan kuil-kuil dan mereka tidak disibukkan untuk melawan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan masyarakat. Mereka hidup dalam doktrin agama yang kuat tetapi pemahaman doktrin mereka diselewengkan oleh Syaikh-Syaik serta pemimpin-pemimpin mereka sendiri.
Kita melihat di Tunisia, saat ini ada beberapa gerakan Islam yang tidak peduli untuk mengembalikan negara kepada kebebasan dan kehancuran tirani mereka juga tidak tertarik untuk memerangi krisis ekonomi, mereka acuh tak acuh terhadapa proses pembangunan kembali negara paska revolusi, yang diinginkan mereka adalah pemerintah mengakomodasi tuntutan mereka dan mereka mencapai impian mereka sendiri dalam berbagai corak pemahaman ke-egoisan mereka.
Kita akan melihat bagaimana mereka berteriak untuk menuntut penerapan hukum Allah, merekapun menyatakan perang dengan bioskop, klub malam, toko yang menjual alkohol dan mereka menganggap beberapa supermarket atau hipermarket adalah kebudayaan kafir.
Sebagian besar merekalah yang keluar untuk menjadi Demonstran pada hari Jumat lalu. Mereka menyatakan bahwa semua hukum selain hukum Allah adalah bertentangan, dan konstitusi negara wajib menggunakan hukum Allah dalam teks kontitusinya. Mereka tidak melihat hukum yang sah, tetapi mereka lebih menginginkan menandai bahwa sudah berdirinya negara Islam atau membentuk sebuah kekhilafahan.
Mereka tidak perduli dengan masalah-masalah negara yang tengah terjadi, seperi ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya yang menyangkut kehidupan rakyat Mesir.
Dengan kemenangan Ikhwanul Muslimin dari partai FJP serta Salafi dengan partainya An-Nour, mereka menganggap bahwa Mesir tempat yang tepat dimulainya Islamisasi, dan mereka mengajak berbagai jamaah gerakannya untuk pindah ke Mesir. Mereka ini kaum opportunis yang berlindung dibalik demokrasi dan kebebasan serta hasil dari kemenangan orang lain.
Kita juga bisa membayangkan, misalnya perasaan rakyat Mesir ketika membaca koran yang diterbitkan tanggal 26/10 “Ikhwanul Muslimin dan Salafi sepakat untuk membatasi berbagai kebebasan berbicara” atau bisa juga dengan koran yang sama pada 8/11 yang berjudul “Penghapusan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam konstitusi” hal ini tidak mengherankan karena takut terhadap hukum Allah. Pemerintah Mesir sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat Islamisasi di Mesir secara perlahan-lahan dalam konstitusi. Tetapi sebagian orang malah egois dengan demonstrasi menuntut dilakukan hukum Allah secara penuh dalam konstitusi Mesir, ini malah membahayakan kondisi stabilitas Mesir sendiri, karena terburu-burunya menerapkan hukum Allah tanpa memberikan pemahaman yang bagus kepada rakyat Mesir mengenai Syariah atau hukum Allah.
Masalah membatasi berbagai kebebasan berbicara atau berpendapat merupakan sebuah ketakutan yang kuat akan dirasakan oleh pihak gerakan Islam yang selalu berpendapat menyerang pemerintahan sebagaimana juga dilakukan oleh orang non Islam di Mesir.
Kita mengetahui kondisi rakyat Mesir tidak stabil dengan wacara Hukum Islam dan syariah Islam, yang diinginkan masuk dalam konstitusi negara. Padahal, dalam Undang-undang Mesir sendiri beberapa ulama Mesir dan Al Azhar tidak mempermasalahkan dan tidak menyatakan melanggar Syariah Islam. Malahan, baru saat ini Islam menjadi agama resmi negara yang diatur dan didefinisikan cukup baik setelah Pasal II diatur dalam UUD Mesir tahun 1971. Tentu ini formulasi yang nyata bahwa Mesir merupakan negara Islam, karena konstitusi agama dalam negaranya adalah Islam.
Sebagaimana Tunisia yang juga telah menyatakan bahwa agama resmi di Tunisia adalah Islam, hal ini menjadi sebuah teks yang cukup dalam konstitusi mengenai indentitas negara Islam. Walaupun juga terjadi kontroversi mengenai penerapan hukum Islam dalam negara.
Hal ini saya lebih mengacu kepada Al Quran Surat Taha, bahwa kita seharusnya lebih memperbaiki diri dan sekitar dahulu serta memberitakan mengenai Islam dengan benar dan baik sehingga orang mengetahui Islam dengan baik dan benar dengan berbicara lemah lembut dan tidak egois. Kita akan tahu nanti siapa orang yang menempuh jalan yang lurus dan mendapat telah petunjuk dari Allah. (suaranews.com)
Share this with short URL: