Secara tak langsung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berkolaborasi dengan media massa tertentu, untuk melakukan stereotyping atau labeling terhadap Luthfi Hasan Ishaaq. Singkat kata, nama baik Luthfi telah dihakimi oleh kebebasan media massa Indonesia.
Demikian salah satu inti ungkapan eksepsi persidangan terdakwa kasus dugaan suap pengadaan daging sapi impor Luthfi Hasan Ishaaq di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Selatan.
“KPK dan media massa seperti membuat framing atau kerangka opini terhadap kasus hukum yang sedang ditanganinya,” ungkap salah ketua tim kuasa hukum terdakwa, Mohamad Assegaf, Senin (1/7).
Dalam surat eksepsi tersebut, kuasa hukum Luthfi lainnya yakni Jefferson Dau meminjam pendapat Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Menurut Jimly seperti dikatakan Jefferson, KPK harus menungkapkan dua alat bukti mengenai keterlibatan Lutfhfi agar orang tidak curiga. Sehingga bila tidak terungkap dua alat bukti yang dianggap cukup, tak heran bila orang akan beranggapan aneh.
Tak Cukup Bukti
Mereka akan beranggapan mengapa proses hukum menjadi alangkah cepatnya. Selasa malam (29 Januari 2013) Luthfi, Ahmad Fathanah, dan Maharani Suciono digerebek KPK, lalu Rabu (30 Januari) Luthfi jadi tersangka. Belum lagi soal streotype dari pemberitaan di banyak media, yang menitik beratkan pada sosok wanita.
Dalam pemberitaan itu pun, tidak hanya sekedar dengan narasi, namun juga dengan ilustrasi. “Padahal faktor wanita ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan operasi KPK. Inilah yang namanya sensai media,” ungkap Jefferson.
Lebih dari itu, KPK, sebagai aparat penegak hukum juga secara sadar atau tidak telah menghakimi organisasi sosial-politik yang pernah dipimpin Luthfi, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kembali pada alat bukti, seperti yang dipaparkan Jimly hanyalah berupa saksi dan hasil sadapan (rekaman), KPK sebenarnya hanya memperoleh satu alat bukti saja dalam melakukan penangkapan maupun penahanan. Itu artinya KPK sebenarnya belum memenuhi syarat KUHAP, yaitu syarat adanya bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan maupun penahanan.
“Okelah, anggap KPK telah memperoleh bukti permulaaan yang cukup, tapi bukti ini untuk tindak pidana apa? Sudah bisakah ditentukan? Apakah untuk Tindak Pidana Penyuapan ataukah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)?” pungkasnya.
“Kalau untuk TPPU tentu terlalu dini untuk bisa dilakukan penangkapan. Kalau untuk tindak pidana penyuapan, dua alat bukti tersebut membuktikan apa?”
Secara keseluruhan, hingga pada proses penangkapan maupun penahanan, KPK sebenarnya belum melakukan pemeriksaan terhadap saksi maupun tersangka, untuk bisa memberi konfirmasi pada KPK tentang adanya penyuapan.
(sumber: islamedia.web.id)