Antara Kepentingan Kekuasaan dan Studi Kritis
Oleh: A. Mulyana
Historiografi sejarah Indonesia memiliki
dua kekuatan narasi yaitu narasi formal dan narasi yang bersifat
pinggiran (Henk Schulte Nordholt, 2008 : 24-31). Narasi formal adalah
historiografi resmi yang ditulis oleh negara yang biasanya ditampilkan
dalam buku Sejarah Nasional. Sejarah Nasional merupakan historiografi
yang dibuat oleh negara dan harus disosialisasikan kepada masyarakat
yang lebih luas.Salah satu sosialisasi penting yang dilakukan adalah
melalui buku teks pelajaran yang diajarkan di sekolah. Dengan demikian
historiografi yang ada dalam buku teks pelajaran sejarah menjadi suatu
narasi besar atau arus utama tentang interpretasi sejarah Indonesia.
Sedangkan historiografi pinggiran biasanya lahir dari hasil penelitian
di perguruan tinggi seperti dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi
atau hasil-hasil penelitian karya akademisi lainnya. Interpretasi
sejarah pada historiografi formal dan pinggiran memungkinkan terjadinya
perbedaan. Hal ini lah yang kemudian menjadi isyu penting dalam
historiografi sejarah Indonesia pada awal reformasi.
Sejak awal reformasi terjadi
gugatan-gugatan yang begitu besar terhadap penulisan sejarah Indonesia.
Gugatan-gugatan sejarah terjadi disebabkan oleh adanya ketidakpuasan
beberapa kalangan terhadap penulisan sejarah pada zaman Orde Baru. Salah
satu ciri utama dalam penulisan sejarah Orde Baru yaitu bersifat
sentralistis. Sentralistis yang dimaksud di sini adalah adanya dominasi
interpretasi yang bersifat tunggal dari negara. Historiografi Indonesia
yang ditulis oleh Orde Baru telah menempatkan bahwa Orde Baru sebagai
upaya penyelamatan negara dari berbagai ancaman dan gangguan yang telah
merongrong negara. Orde Baru adalah suatu hasil akhir arus sejarah
penyelamatan Negara Indonesia yang pada periode sebelumnya penuh dengan
rongrongan negara. Arus sejarah yang dibangun oleh Orde Baru adalah
sejarah yang penuh dengan pertentangan antara kekuatan Orde Baru dan
anti Orde Baru. Akhir historiografi sejarah Orde Baru adalah dengan
mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang
mengganggu (Nordholt, 2008 : 11)
Sejarah Nasional dan Interpretasi Kekuasaan
Tradisi menulis sejarah tentang suatu
pemerintahan sudah lama dilakukan di Nusantara. Sejak jaman
kerajaan-kerajaan di Nusantara terdapat beberapa naskah yang
menceritakan tentang kerajaan. Dalam kerajaan biasanya terdapat pujangga
atau penulis kerajaan yang menulis peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi pada kerajaan tersebut. Cerita sejarah kerajaan yang ditulis
oleh pujangga tersebut biasanya membesarkan peran yang dilakukan oleh
raja yang berkuasa ketika cerita itu dibuat. Dalam cerita tersebut
ditampilkan berbagai tindakan raja yang tidak rasional dengan
menempatkan raja sebagai tokoh yang memiliki kekuatan sakral. Selain
raja ditampilkan pula tokoh-tokoh tertentu yang memiliki kekuatan sakti.
Karya para pujangga ini dapat dikategorikan sebagai naskah kuno.
Dalam terminologi historiografi naskah
kuno dapat dikatagorikan sebagai historiografi tradisional. Penyebutan
istilah tradisional untuk membedakan dengan pengertian historiografi
modern. Dalam historiografi mederen, penulisan sejarah sudah menggunakan
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Ciri penting dari historiografi
tradisional yaitu penulisannya sangat dipengaruhi oleh faktor budaya
dimana naskah itu ditulis (Soebadio, 1991 : 11-12). Alam pikiran
masyarakat yang berkembang pada saat itu memberikan pengaruh terhadap
historiografi tradisional (Mulyana, 2009 : 33). Sifat-sifat mistik yang
ada pada tokoh-tokoh yang diceritakan dalam historiografi tradisional
mencerminkan bahwa masyarakat pada saat itu belum berfikir saintifik dan
kritis dalam membaca sejarah masa lalu penguasanya.
Penempatan penguasa dan tokoh-tokoh
tertentu dalam historiografi tradisional yang bersifat sakral
sesungguhnya memiliki arti tersendiri bagi masyarakat dimana naskah itu
berada, oleh karena itu kedudukan raja-raja biasanya dikaitkan dengan
tokoh mitis, dibuat silisilah raja-raja dengan menghubungkan pada tokoh
mistis. Penggambaran ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
legitimasi terhadap kedudukan raja (Widja, 1991 : 72). Kedudukan seorang
raja memiliki legitimasi historis yang kemudian diakui oleh
masyarakatnya. Sebagaimana lazimnya pada negara-negara tradisional,
kedudukan seorang penguasa sangatlah sakral, raja dianggap sebagai
keturunan atau titisan dewa.
Kekuatan kerajaan selalu dihubungkan
dengan kekuatan alam atau hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Kerajaan sebagai gambaran dari jagat raya. Dalam sebuah kerajaan
terdapat ibu kota kerajaan. Kedudukan ibu kota kerajaan bukan hanya
sebagai pusat politis dan kebudayaan suatu bangsa, akan tetapi kerajaan
merupakan suatu kekuatan magis (Geldren, 1982 : 1-6). Kekuasaan dalam
konsepsi kekuasaan tradisional sebagaimana dicontohkan dalam kekuasaan
raja-raja Jawa, lebih mementingkan pada bagaimana menghimpun kekuasaan
itu. Menurut konsepsi kerajaan tradisional upaya untuk memperoleh
kekuasaan yaitu dilakukan dengan cara-cara magis seperti dengan cara
bertapa (Anderson, 1991 : 52-54).. Cara ini dilakukan dengan harapan
memiliki suatu kekuatan magis. Bertapa pada dasarnya untuk mendapatkan
suatu keseimbangan dalam kekuatan alam. Dengan demikian raja merupakan
sumber kekuatan utama kekuasaan yang bersifat magis dalam sebuah
kerajaan.
Dalam perkembangan historiografi di
Indonesia, penulisan sejarah yang berkaitan dengan kekuasaan terus
mengalami perkembangan. Perkembangan ini seiring pula dengan
perkembangan historiografi dari yang tradisional hingga historiografi
moderen. Hal utama yang membedakan historiografi tradisional dan modern
adalah terletak pada kebenaran faktanya. Dalam historiografi tradisional
kebenaran fakta tidak terlalu dipentingkan sehingga historiografi
tradisional terkadang berbentuk fiksi (Widja, 1991 : 70-71). Sebaliknya,
historiografi modern lebih mementingkan fakta, karena ciri utama dari
kebenaran sejarah adalah kebenaran fakta yang diinterpretasikan oleh
sejarawan atau penulis sejarah (McCullagh, 1998 : 1).
Historiografi moderen yang berkaitan
dengan sejarah kekuasaan di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial.
Buku sejarah yang sangat penting pada saat ini adalah sejarah yang
menceritakan bangsa penjajah di Hindia Belanda (Indonesia). Buku ini
ditulis oleh suatu tim para sejarawan Belanda yang dipimpin oleh Dr. FW.
Stapel dengan judul Gechiedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda). Interpretasi yang diberikan dalam buku ini ternyata bersifat neerlandosentris
yaitu sejarah dilihat dari kacamata penjajah Belanda. Dalam
interpretasinya penjajah Belanda ditempatkan sebagai aktor utama pelaku
sejarah, sedangkan bangsa Indonesia ditempatkan sebagai obyek. Penjajah
Belanda adalah pemilik negeri jajahan dan sebaliknya bangsa Indonesia
adalah “abdi” bangsa Belanda (Ali, 1995 : 1). Dengan demikian penulisan
sejarah pada Buku Stapel yang berkaitan dengan penjajahan lebih
merupakan sejarah kekuasaan yaitu kekuasaan penjajah Belanda di Hindia
Belanda.
Dalam terminologi historiografi, sejarah
kekuasaan termasuk dalam katagori sejarah politik. Pada mulanya politik
merupakan tulang punggung sejarah karena dalam historiografi yang
konvensional, tulisan sejarah banyak berisi tentang rentetan
kejadian-kejadian tentang raja, negara, bangsa, pemerintahan, parlemen,
pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan (militer, partai, ulama,
bangsawan, pateni) dan interaksi antara kekuatan-kekuatan dalam
memperebutkan kekuasaan (Kuntowijoyo, 2003 : 174). Ciri lain dari
sejarah konvensional adalah lebih banyak menampilkan orang-orang “besar”
seperti para raja (Burke, 1995 : 2-6). Sejarah dalam terminologi
sejarah konvensional adalah sejarah cerita orang-orang besar.
Orang-orang besar ini pun banyak para penguasa.
Pendekatan politik dan interpretasi
kekuasaan sangat mewarnai dalam penyusunan sejarah suatu negara. Dalam
konteks negara moderen sebutan warganya dengan istilah “bangsa” sehingga
muncul istilah negara bangsa (Nation State). Bangsa adalah
sekelompok para warga negara yang kedaulatan kolektifnya membentuk suatu
negara yang merupakan ekspresi politik mereka (Hobsbown, 1992 : 21).
Negara moderen terbentuk biasanya dilatarbelakangi oleh adanya latar
belakang sejarah yang sama. Dalam kasus beberapa negara di Asia, Afrika
dan Amerika Latin, pembentukan negara bangsa dilatarbelakangi adanya
kolonialisme atau penjajahan yang berlangsung pada negara tersebut.
Kolonialisme sebagai sebuah ideologi yang selalu dikontraskan dengan
nasionalisme karena nasionalisme lahir sebagai bentuk reaksi terhadap
munculnya kolonialisme.
Dalam kasus di Indonesia, historiografi mengalami pula adanya kolonisasi yaitu penulisan sejarah dengan pandangan yang neerlandosentrisme. Untuk membangun historiografi yang nasionalis perlu dirumuskan kembali suatu historiografi yang indonesiasentris, suatu historiografi yang dilihat dari kaca mata bangsa Indonesia. Perumusan penulisan sejarah yang indonesiasentris merupakan bentuk dari dekolonisasi historiografi Indonesia (Kartodirdjo, 1992).
Upaya penulisan sejarah Indonesia yang indonesiasantris
dilakukan melalui Seminar Sejarah Nasional I yang dilaksanakan pada
tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Hal yang
menarik dari materi seminar ini adalah munculnya konsepsi filosofis
sejarah nasional sebagaimana yang diungkapkan oleh Moh. Yamin
(Yamin,1976 : 203-215). Konsepsi ini mencerminkan perlu adanya
ideologisasi dalam penyusunan historiografi Indonesia. Ideologisasi yang
dimaksud di sini adalah sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
bermuara pada nasionalisme harus menjadi landasan ideologi dalam
penulisan sejarah Indonesia. Walaupun pendapat Yamin ini bertentangan
dengan pandangan Soejatmoko. Menurut Soejatmoko Filsafat Sejarah adalah
suatu yang netral tidak mengabdi pada suatu ideologi. Filsafat sejarah
merupakan bagian dari filsafat ilmu (Soejatmoko, 1995 : 183-201).
Terlepas dari pebedaan antara Yamin dan
Sujatmoko, dalam perkembangan berikut tentang historiografi Indonesia
bermuara pada konsepsi Sejarah Nasional. Hal ini dapat dilihat dengan
terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid. Ideologisasi
sangat nampak kalau kita lihat dari Dasar Hukum penyusunan buku
tersebut yakni Surat Keputusan (SK) Mendikbud No. 0173/1970 yang berisi
mengangkat Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah Nasional Indonesia
berdasarkan Pancasila (Kartodirdjo, 1977). Pancasila sebagai dasar
negara harus dijadikan landasan dalam penyusunan buku Sejarah Nasional
tersebut. Dengan demikian rekonstruksi sejarah yang dibuat harus
mengikuti apa yang diinginkan oleh negara dan bersifat iedologis.
Ideologisasi dalam sejarah Negara tampak
dalam Sejarah Nasional Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia pada
dasarnya adalah historiografi yang benang merahnya merekontruksi tentang
bagaimana asal-usul, proses pembentukan, lahir dan eksistensi setelah
lahir negara Indonesia. Sejarah direkonstruksi secara periodesasi dan
menunjukkan adanya suatu kesinambungan dalam proses eksistensi Negara
Indonesia. Untuk mencerminkan suatu kesinambungan maka dibuatlah
periodesasi mulai dari periode prasejarah hingga periode setelah
kemerdekaan dan zaman Orde Baru. Indonesia sebagai sebuah negara dicari
asal usulnya, mulai asal usul masyarakatnya yang dicari sejak zaman
prasejarah ; pembentukan suatu institusi politik, dicari sejak zaman
kerajaan-kerajaan (Hindu Budha dan Islam), perjuangan pembentukan Negara
Republik Indonesia, dicari pada masa penjajahan ; perjuangan proklamasi
kemerdekaan, dicari pada periode kemerdekaan ; dan perjuangan
mempertahankan hingga mengisi kemerdekaan, dicari pada periode Revolusi
hingga Orde Baru.
Periodesasi dalam sejarah nasional
Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan yang konvensional
(Kuntowijoyo, 2008 : 21). Ciri-cirinya sebagaimana telah dikemukakan
dalam pendekatan historiografi yang konvensional tema politik menjadi
ciri utama dalam alur periodesasinya. Misalnya dalam jilid II dan III
tema utamanya adalah kerajaan-kerajaan Hindu Budha dan kerajaan-kerajaan
Islam. Kerajaan adalah suatu institusi politik atau negara. Jilid IV
dan V adalah zaman Kedatangan Bangsa Barat dan Penjajahan di Indonesia.
Bangsa Barat di sini adalah bangsa-bangsa yang kemudian menjajah
Indonesia. Terminologi penjajahan merupakan terminologi politik yaitu
kekusaan pemerintahan penjajah (Pemerintahan Hindia Belanda). Jilid V
periode Jepang dan kemerdekaan. Eksplanasi tentang periode Jepang pun
lebih banyak membahas tentang pemerintahan pendudukan Jepang sebagai
suatu institusi politik yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
peristiwa-peristiwa politik yang mengantarkan proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia. Sedangkan uraian pada jilid VI periode Republik
Indonesia pendekatan tema politik nampak ketika membicarakan bagaimana
Republik Indonesia dipertahankan, mendapatkan berbagai cobaan hingga
lahirnya suatu pemerintahan yang menyelematkan Republik Indonesia yaitu
Orde Baru.
Penyebutan istilah Orde Baru dalam
penulisan Sejarah Nasional Indonesia mencerminkan ada interpretasi
kekuasaan. Terminologi Orde Baru menunjukkan bahwa Sejarah Nasional
Indonesia adalah sejarah perjuangan. Perjuangan dimulai dengan jaman
kolonial yaitu perjuangan yang penuh dengan perang dalam mengusir
penjajah atau perjuangan antara kekuatan nasionalis melawan kolonial
(penjajah). Hasil dari perjuangan ini melahirkan sebuah negara yang
merdeka yaitu Republik Indonesia. Ketika Indonesia merdeka perjuangan
belum selesai, timbul berbagai macam ancaman dan gangguan bagi
eksistensi Negara Republik Indonesia. Gangguan dan ancaman itu baik
dalam bentuk konflik fisik atau perjuangan bersenjata maupun pergolakan
politik. Ancaman dan gangguan baik datang dari luar maupun dari dalam.
Tantangan dari luar yaitu datangnya kembali Belanda yang ingin menjajah
Indonesia sehingga terjadilah perang atau konflik bersenjata antara
pihak Indonesia dengan Belanda. Periode ini dikenal dengan Periode
Revolusi. Sedangkan ancaman dari dalam berupa
pemberontakan-pemberontakan yang dianggap merongrong terhadap kedaulatan
Republik Indonesia. Pemberontakan-pemberontakan itu seperti
PRRI/PERMESTA, PKI, DI/TII, RMS, dan sebagainya. Eksistensi Negara
Republik Indonesia akhirnya dapat diselamatkan oleh suatu kekuatan yang
kemudian membentuk pemerintahan yang disebut dengan Orde Baru. Kekuatan
utama yang menjadi pendukung Orde Baru adalah militer. Dengan demikian
pada masa Orde Baru terjadi militerisasi dalam sejarah (McGregore, 2008 :
51-64).
Sejarah Nasional Indonesia yang
direkontruksi oleh Orde Baru adalah Sejarah Nasional yang penuh dengan
interpretasi kekuasaan. Penulisan Sejarah Nasional pada dasarnya
merupakan promosi dari pemerintah, karena sejarah nasional terkait erat
dengan legitimasi negara dan identitas nasional (Sutherland, 2008 : 38).
Orde Baru mencoba membuat satu identitas atau mendefinisikannya sendiri
yaitu koreksi total atas penyelewengan-penyelewengan di segala bidang,
dan berusaha menyusun kembali kekuatan Bangsa dan menentukan cara-cara
yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas nasional jangka panjang sehingga
mempercepat proses pembangunan Bangsa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 (Notosusanto, 1987 : 173). Pemerintahan yang
berlangsung sebelum Orde Baru diinterpretasikan sebagai suatu keadaan
yang tidak lebih baik daripada pemerintahan Orde Baru bahkan
diinterpretasi dengan kondisi yang kontraproduktif sehingga disebut
dengan Orde Lama.
Kurikulum dan Ideologi Buku Teks
Buku teks pelajaran sejarah disusun
berdasarkan kurikulum yang berlaku. Kurikulum yang pernah berlaku di
Indonesia sejak awal kemerdekaan yaitu Kurikulum 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, 2004 atau dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK), dan sekarang berlaku Kurikulum 2006 atau dikenal dengan nama
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Konsep kurikulum merujuk
pada suatu rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem
kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan, sebagai suatu
rencana pengajaran (Sukmadinata, 1997 : 27). Buku teks merupakan salah
satu bagian dari sumber belajar dengan demikian buku teks juga merupakan
bagian penting dari pelaksanaan kurikulum.
Penyusunan suatu kurikulum dilandasi
oleh dua landasan yaitu landasan filosofis dan landasan politis.
Landasan filosofis adalah landasan yang berkaitan dengan teori atau ilmu
tentang kurikulum. Sedangkan landasan politis berkaitan dengan
kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pendidikan (Hasan, 1996 :
56-63). Dengan demikian kurikulum merupakan bagian dari kebijakan
pendidikan pemerintah.
Kurikulum sebagai suatu kebijakan
pemerintah sudah barang tentu merupakan bagian dari kebiajakan politik
pemerintah terutama berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan.
Implementasi kurikulum sebagai bagian dari pelaksanaan pendidikan yaitu
implementasi mata pelajaran. Mata pelajaran yang diberikan di sekolah
merujuk pada kurikulum yang berlaku begitu pula hal buku teks yang
digunakan. Buku teks yang digunakan harus merujuk pada tujuan dari mata
pelajaran itu sendiri dan secara vertikal ke atas harus juga merujuk
pada tujuan pendidikan secara nasional.
Perumusan tujuan dalam pendidikan
sejarah sangat lah penting dan memiliki nilai politis bagi kepentingan
pendidikan. Mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis yaitu
pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta
pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air (Permendiknas. 22/2006). Tujuan utama mata pelajaran sejarah
menjadi landasan utama dalam merekonstruksi peristiwa-peristiwa sejarah
yang ada dalam buku teks dan menjadi materi pelajaran bagi siswa.
Pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan termasuk kurikulum
melakukan rekonstruksi dan seleksi terhadap peristiwa-peristiwa apa saja
bagaimana interpretasinya untuk materi pelajaran yang diberikan kepada
siswa. Peristiwa-peristiwa tersebut kemudian diinterpretasikan dengan
interpretasi pemerintah.
Penyusunan dan pemberlakuan kurikulum
senantiasa diwarnai dengan kebijakan yang bersifat politik dari
pemerintahan yang sedang berlangsung, khususnya Undang-Undang yang
berkaitan dengan pendidikan dan berlaku saat itu. Suasana politik
pemerintah yang sedang berlangsung akan memberikan warna atau dalam
istilah historiografi yaitu jiwa zaman. Pemerintah Republik Indonesia
pada awal kemerdekaan belum dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan
karena pada saat itu situasi politik belum memungkinkan. Undang-Undang
Pendidikan pertama kali berlaku sejak awal kemerdekaan yaitu
Undang-Undang No. 4 tahun 1950. Hal terpenting dari Undang-Undang yang
bersifat ideologis mengenai landasan. Landasan pendidikan dan
pengajaran adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan kebudayaan bangsa Indonesia. Walaupun belum dirumuskan
atau dihasilkan sebagai suatu produk hukum, kurikulum yang digunakan
pada awal kemerdekaan ini lebih diarahkan pada upaya pembangunan
nasionalisme Indonesia, sehingga bahasa yang digunakan di
sekolah-sekolah adalah penggunaan Bahasa Indonesia ditentukan oleh UU
No. 4 tahun 1950 (Sjamsuddin, 1993 : 17-46).
Buku-buku yang digunakan pada tahun
1950-an masih banyak menggunakan buku-buku terjemahan dari bahasa
Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diberlakukan
sejak zaman Pendudukan Jepang. Begitu pula halnya buku sejarah, masih
menggunakan terjemahan dari buku-buku yang berbahasa Belanda, sehingga
uraian dari buku ini masih berbau neerlandosentris, walaupun sudah memiliki semangat indonesiasentris
(Mulyana, 2009 :39-49). Semangat ideologi yang memberikan warna
terhadap kurikulum pada tahun 1950-an adalah nasionalisme sebagai suatu
ideologi yang kontraproduktif terhadap kolonialisme, karena bangsa
Indonesia pada saat itu baru lepas dari penjajahan.
Suasana politik yang berlangsung pada
tahun 1960-an berpengaruh terhadap kurikulum yang berlangsung saat itu.
Kebijakan politik yang sangat berpengaruh pada saat itu adalah lahirnya
MANIPOL (Manifesto Politik) yang dijadikan sebagai GBHN dengan tujuan
untuk mengembalikan Revolusi Indonesia pada garis Revolusi 17 Agustus
1945. Pendidikan merupakan alat revolusi. Kebijakan Manipol diuraikan
dalam apa yang disebut USDEK yang merupakan singkatan :
- Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945
- Sosialisme Indonesia
- Demokrasi Terpimpin
- Ekonomi Terpimpin
- Kepribadian atau Kebudayaan Terpimpin.
Kurikulum yang lahir pada tahun 1960-an
yaitu Kurikulum 1961 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1964 dan
dikenal dengan sebutan Kurikulum Gaya Baru atau Kurikulum Pancawardhana
(Darmiasti, 2002 : 33). Kurikulum tahun 1964 merupakan kurikulum yang
berlaku pada masa pemerintahan Orde Lama. Jargon revolusi Indonesia
tetap masih menjadi kebijakan politik pemerintah, sehingga kurikulum
sejarah pun turut terwarnai. Mata pelajaran sejarah pun harus harus
bertujuan mencapai revolusi Indonesia, oleh sebab itu mata pelajaran
sejarah harus berlandaskan :
- Proklamasi sentries
- Bereskatologi masyarakat sosialis Indonesia.
Susana politik pada masa Orde Lama
memberikan warna secara ideologis terhadap kurikulum 1964. Ketegangan
politik yang terjadi antara kekuatan pro komunis dan anti komunis
memberikan pengaruh terhadap rumusan kurikulum secara ideologis. Jargon
tentang sosialis Indonesia memberikan cerminan betapa ideologi komunis
sebagai bentuk dari ideologi sosialis turut mewarnai terhadap landasan
Kurikulum tahun 1964.
Warna ideologi sosialis dalam penulisan buku sejarah dapat dilihat pada buku karangan Soendhoro yang berjudul Sejarah Indonesia SMA (Soendhoro, 1973). Pada jilid 1 Soendhoro membagi periodesasi sejarah Indonesia yaitu :
- Zaman Pra-Sejarah (dari perpindahan bangsa Indonesia sampai kurang lebih th. 1400).
- Zaman Sejarah :
- Masa kejayaan nasional (kurang lebih 400 sampai kurang lebih 1600).
- Masa penindasan kolonial dan penghisapan feodal (kurang lebih 1600 sampai 1908),
- Masa menuju ke sosialisme Indonesia.
- Zaman Perintis (1908 –1927).
- Zaman Penegas (1927).
- Zaman Pancaroba (1938- 1942).
- Zaman Pelaksana (1945 – sekarang).
Istilah yang digunakan dalam periodesasi
Indonesia sebagaimana yang ditulis oleh Soendhoro nampak sekali
pengaruh ideologi sosialis, yatu istilah penindasan kolonial dan
penghapusan feodal dan masa menuju ke sosialisme Indonesia. Feodalisme
dan kolonialisme disandingkan sama sebagai institusi yang menindas.
Padahal feodalisme lebih mencerminkan perilaku kaum elite pribumi,
sedangkan kolonialisme lebih mencerminkan perilaku orang asing yaitu
penjajah. Akhir sejarah Indonesia menuju kepada terciptanya masyarakat
yang sosialis yang dimulai dengan periode pergerakan kebangsaan. Akhir
dari gerak sejarah dan tujuan perjuangan bangsa Indonesia yaitu
terbentuknya masyarakat yang sosialis.
Pergantian pemerintahan dari Orde Lama
ke Orde Baru memberikan warna baru secara ideologis terhadap kurikulum.
Pada masa Orde Baru, berlaku beberapa kurikulum yaitu Kurikulum 1968,
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994. Orde Baru lahir
sebagai akibat ketegangan politik yang terjadi pada masa pemerintahan
sebelumnya. Pemberian nama Orde Baru terhadap pemerintahan setelah
Presiden Sukarno, memberikan suatu arti bahwa pemerintahan yang baru ini
memberikan suatu koreksi dan ingin memperbaiki pemerintahan sebelumnya
sehingga pemerintahan pada masa Sukarno disebut dengan Orde Lama
sedangkan pemerintahan pada masa Suharto yang menggantikannya diberi
nama Orde Baru.
Orde Baru memiliki kebijakan politik
yang berbeda dengan Orde lama. Kebijakan utama politik yang dilakukan
oleh Orde Baru yaitu ingin menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara
dan Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekwen.
Orde Baru memandang bahwa ketegangan politik yang terjadi pada masa
Orde Baru yang berakhir dengan terjadinya Gerakan Tiga Puluh September
(Gestapu), merupakan bentuk pengingkaran terhadap Pancasila dan
Undang_undang Dasar 1945. Pihak yang paling bertanggung jawab terhadap
pengingkaran Pancasila dan UUD 1945 menurut Orde Baru adalah Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Gerakan anti PKI menjadi kebijakan
politik penting yang dilakukan oleh Orde Baru dan gerakan ini dijadikan
sebagai suatu gerakan dalam upaya menyelamatkan Pancasila sebagai
ideologi negara. Kebijakan ini sangat berpengaruh terhadap kurikulum
yang berlaku pada masa Orde Baru. Khusus untuk mata pelajaran sejarah
Orde Baru melakukan tafsir tunggal dengan versi Orde Baru terhadap
beberapa peristiwa sejarah yang dianggap penting bagi eksistensi dan
kesinambungan Orde Baru.
Salah satu kebijakan penting Orde Baru
dalam kaitannya dengan buku sejarah yaitu diterbitkannya buku Sejarah
Nasional Indonesia yang diterbitkan untuk SMP dan SMA atau lebih dikenal
dengan sebutan Buku Paket. Buku ini diterbitkan bersumber dari Sejarah
Nasional Indonesia yang 6 jilid. Salah satu tafsir tunggal yang
dilakukan terhadap buku teks itu adalah membuat formulasi Nilai-Nilai
1945. Nilai-nilai ini dianggap sebagai patokan kebenaran dalam menilai
peristiwa sejarah di Indonesia. Pada buku Sejarah Nasional SMA jilid 3
terdapat judul yaitu “Mengingkari Nilai-Nilai 1945” dan “menyelewengkan
Cita-Cita 1945. Formulasi nilai ini ditafsirkan pada sub judul tentang
“Percobaan Politik Liberal” dan “Sistem Ekonomi liberal”. Sub judul ini
ditafisrkan sebagai “Mengingkari Nilai-Nilai 1945”, dan “menyelewengkan
Cita-Cita 1945” ditafsirkan pada sub judul “Sistem Ekonomi Terpimpin”
dan “Politik Luar Negeri Nefo-Oldefo” (Mulyana, 2009 : 93-94).
Ideologisasi terhadap kurikulum dan
pendidikan sejarah pada masa Orde Baru nampak sekali ketika lahirnya
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). PSPB dalam kurikulum
kedudukannya sebagai mata pelajaran tersendiri dan terintegrasi dengan
pendidikan Pancasila. Warna ideologi nampak sekali dalam PSPB
(Kepmendikbud, No. 0264/U/1985) jika dilihat dalam tujuannya yaitu :
- Mempertebal semangat dan kebangsaan dan cinta tanah air.
- Meningkatkan pendidikan Pancasila.
- Meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945.
Pelaksanaan PSPB merupakan bentuk dari
mereduksi sejarah pada nilai-nilai yang ditafsirkan oleh penguasa (Orde
Baru). Sejarah diformulasi hanya dalam batas sejarah perjuangan dengan
materinya mengambil dari Sejarah Nasional Indonesia, sehingga dalam
pelaksanaannya banyak mengalami tumpang tindih dengan mata pelajaran
sejarah. Tumpang tindih materi akan kentara dalam pelajaran sejarah
perjuangan bangsa dan tekanan yang diberikan pada nilai, yang
seungguhnya pendidikan nilai pun ada dalam mata pelajaran sejarah.
Tafsiran tunggal pun dilakukan terhadap
peristiwa-peristiwa sejarah yang dianggap memiliki keterkaitan dengan
lahirnya Orde Baru. Kelahiran Orde Baru dilatarbelakangi oleh ketegangan
politik yang berujung pada terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan 30
September merupakan peristiwa politik yang berujung pada meninggalnya
tujuh orang jenderal yang dibunuh secara kejam. Dalam interpretasi
sejarah Orde Baru peristiwa ini didalangi oleh PKI, sehingga dalam
historiografi buku-buku pelajaran sejarah di sekolah dan sebagaimana
tercantum dalam Kurikulumnya ditulis menjadi G.30.S/PKI. Dengan demikian
gerakan anti dan pemusnahan PKI dilakukan pula melalui mata pelajaran
Sejarah.
Dominasi Orde Baru dalam penafsiran
sejarah khususnya pada mata pelajaran sejarah di sekolah memberikan
reaksi yang cukup keras ketika berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan
beralih ke Pemerintahan Reformasi. Kurikulum yang pertama berlaku pada
masa awal pemerintahan Reformasi yaitu Kurikulum 2004 atau yang dikenal
dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Semangat reformasi terjadi pula dalam
penyusunan Kurikulum Sejarah tahun 2004. Reformasi dilakukan terutama
pada isyu-isyu sejarah yang menjadi kontraversial di masyarakat. Isyu
kontraversial tersebut adalah peristiwa G.30.S/PKI dan Peran Suharto
dalam beberapa peristiwa penting seperti Serangan Umum 1 Maret dan Surat
Perintah Sebelas Maret. Dalam merivisi materi G.30.S/PKI disebutnya
sebagai tragedi nasional dan kata PKI tidak dicantumkan lagi. Dalang
Gerakan 30 September diuraikan tidak hanya PKI saja, tetapi disebutkan
pula pihak-pihak lannya. Ada beberapa tafsiran mengenai siapa yang
menjadi dalang peristiwa Gestapu, jadi PKI bukan satu-satunya dalang
Gestapu. Sedang uraian mengenai peran Suharto hanya dikurangi dan tidak
terlalu ditonjolkan perannya. Dengan demikian buku-buku teks pelajaran
sejarah yang disusun berdasarkan Kurikulum tahun 2004 tidak lagi
mencantumkan PKI dalam penulisan G.30.S/PKI dengan alasan PKI bukan
satu-satunya dalang Gerakan 30 September. Uraian seperti ini berlaku
pula pada buku-buku teks pelajaran sejarah yang disusun pada Kurikulum
tahun 2006 atau disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Tidak dicantumkannya PKI pada buku-buku
pelajaran sejarah Kurikulum tahun 2004 ternyata menimbulkan reaksi yang
keras di masyarakat. Gejolak terjadi yang menghendaki agar PKI
dituliskan kembali pada tulisan G.30.S/PKI. Mereka meminta agar
disebutkan bahwa dalang peristiwa Gerakan 30 September adalah PKI.
Gejolak ini menjadi masalah nasional dan menjadi perhatian serius bagi
Departemen Pendidikan Nasional sebagai departemen yang mengeluarkan
kurikulum. Untuk menyelesaikan masalah tersebut akhirnya pemerintah
membentuk suatu tim yang terdiri dari para pakar sejarah dan pendidikan
sejarah untuk merevisi Kurikulum Sejarah tahun 2004. Salah satu revisi
penting dari tim ini adalah dicantumkan kembali kata PKI pada sebutan
G.30.S atau menjadi G.30.S/PKI. Buku-buku yang disusun berdasarkan
Kurikulum 2006 harus mencantumkan kembali kata PKI.
Perubahan kurikulum dari 2004 ke 2006
tidak lah terlalu mendasar, sehingga walau yang sudah berlaku Kurikulum
2006, akan tetapi masih banyak buku-buku yang beredar merujuk pada
Krikulum 2004. Buku-buku yang berdasar pada Kurikulum 2004 masih banyak
tidak mencantumkan PKI sebagai satu-satunya dalam G.30.S. Hal ini
kemudian menjadi masalah yang cukup serius bagi pemerintah. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan meminta kepada Kejaksaan Agung untuk meneliti
buku-buku pelajaran sejarah. Kejaksaan Agung akhirnya mengeluarkan
Instruksi Nomor 003/A-JA/03/2007 tertanggal 3 Maret 2007 yang berisi
tentang tindakan penarikan buku sejarah 2004. Tindakan yang dilakukan
dari instruksi surat Kejaksaan Agung tersebut adalah melakukan
pemusnahan dan pembakaran terhadap buku-buku sejarah yang tidak
mencantumkan PKI pada kalimat G.30.S/PKI
(http://www.korantempo
...721,25.id.html/13-04-2011). Sejak tanggal 5 Maret 2007n Kejaksaan
Agung melarang 13 judul buku dari 10 penerbit. Alasan pelarangan
tersebut antara lain buku-buku tersebut tidak menyebutkan pemberontakan
PKI di Madiun pada 1948 dan hanya menulis keterlibatan G.30.S tanpa
menyebut PKI pada tahun 1965 (http:/ www.unisosdem. org/kliping_ detail.php?aid= 7759&coid= 1&caid=34/13-04-2011).
Kasus buku-buku sejarah yang berdasarkan
Kurikulum 2004 mencerminkan intervensi politik pada historiografi buku
teks begitu kuat. Kurikulum menjadi dasar ideologisasi yang bersifat
politik pada penulisan buku-buku teks pelajaran sejarah di sekolah.
Interpretasi sejarah pada buku teks lebih bersifat tunggal, dan
menafikan interpretasi-interpretasi lainnya, walaupun interpretasi yang
lainnya tersebut memiliki argumen yang rasional karena berdasarkan hasil
penelitian. Kurikulum sejarah menjadi suatu kebijakan politik yang
tidak dapat memberikan ruang gerak bebas bagi penafsiran sejarah,
Buku Teks dan Studi Kritis
Uraian materi dalam buku teks pelajaran
sejarah harus ditempatkan sebagai bagian dari historiografi.
Historiografi yang ditekankan pada buku teks pelajaran sejarah adalah
untuk kepentingan pendidikan sejarah di sekolah. Ada dua hal utama yang
harus ditekankan dalam kaitan kepentingan pendidikan sejarah yaitu
menanamkan nilai-nilai kesejarahan dan berfikir kritis terhadap
peristiwa-peristiwa sejarah yang diuraikan dalam buku teks. Penanaman
nilai-nilai kesejarah dapat berangkat dari ideologi yang dimiliki oleh
negara, dalam hal ini Pancasila. Penanaman nilai merupakan fungsi
edukatif dari sejarah. Walaupun dalam beberapa kasus ideologi sebagai
dasar nilai dari pendidikan sejarah ditafsirkan tunggal oleh pemerintah,
seperti halnya pada masa pemerintahan Orde Baru. Muara nilai dalam
pendidikan sejarah adalah tumbuhnya rasa nasionalisme pada diri siswa.
Berfikir kritis merupakan bagian dari keterampilan berfikir pada level
tertinggi. Beberapa keterampilan yang ada dalam berfikir kritis dalam
sejarah yaitu keterampilan mengobservasi, menginterpretasi, analisis,
mengevaluasi, dan mengeksplanasi dan membuat meta kognisi (http: //en. wikipedia. org/wiki/Critical_thinking/25/04/2011).
Kemampuan yang harus dikembangkan dalam
berfikir kritis pada buku teks pelajaran sejarah perlu adanya studi
kritis dalam menulis buku teks pelajaran sejarah. Historiografi yang
dihasilkan dalam buku teks harus mencerminkan hasil dari studi kritis.
Agar mencapai sebuah buku teks yang mencerminkan suatu historiografi
yang kritis perlu penggunaan kaidah-kaidah ilmiah sebagai lazimnya dalam
penulisan sejarah.
Historiografi dapat didefinisikan dalam
dua kategori yaitu kategori pertama adalah bagian dari langkah metode
sejarah, dan kedua adalah sejarah penulisan sejarah. Dalam penulisan
buku teks, penggunaan historiografi menempatkan pengertian historiografi
sebagai bagian dari metode sejarah.Penyusunan buku teks pelajaran
sejarah, bila menempatkan historiografi sebagai metode sejarah, maka
penggunaan langkah-langkah penelitian sejarah menjadi penting. Bila
langkah-langkah penelitian sejarah menjadi dasar dalam penulisan buku
teks, maka buku teks tersebut selain sebagai buku ajar sebagai bahan
penting dalam proses pembelajaran di sekolah, tetapi juga merupakan
suatu karya ilmiah. Buku teks sebagai bagian dari karya ilmiah, akan
memiliki suatu nilai kebenaran yang bersifat kritis.
Penulisan sejarah atau historiografi
pada dasarnya merupakan kerja intelektual. Dalam kegiatan ini seorang
peneliti sejarah mencoba mengkonstruksi data-data atau sumber-sumber
sejarah yang ditemukannya yang kemudian ia susun dalam bentuk tulisan.
Seorang penulis sejarah yang baik, ia akan mencoba melakukan kajian
kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang ia temukan. Kajian kritis
perlu dilakukan oleh seorang penulis sejarah dengan harapan hasil
tulisannya pun merupakan sebuah tulisan yang kritis dan menghasil suatu
karya sejarah yang objektif.
Pada langkah historiografi terjadi
interpretasi dari penulis sejarah, karena penulis sejarah mencoba
menggunakan pikiran-pikiran kritis dan analisis yang nantinya
menghasilkan suatu sintesa dalam tulisannya (Sjamsuddin, 2007 : 156).
Interpretasi dari penulis harus menghasilkan suatu tulisan yang objektif
sebagai lazimnya suatu karya ilmiah. Objektivitas dapat dicapai oleh
seorang penulis sejarah apabila memahami dan menggunakan teori dan
metodologi sejarah.
Buku teks pelajaran sejarah mengandung
dua unsur kepentingan yaitu pertama kepentingan ideologis dan kedua
kepentingan yang bersifat studi kritis. Dua kepentingan ini harus
terpadu dan terkandung dalam konstruksi tulisan buku teks pelajaran buku
sejarah. Ideologis adalah kepentingan yang bersifat penanaman
nilai-nilai, sedangkan kajian kritis lebih pada mengembangkan kebenaran
yang berangkat dari daya nalar siswa ketika membaca perjalanan sejarah
bangsanya. Ideologi tertanam dalam diri siswa ketika membaca buku teks
pelajaran sejarah secara kritis, bukan penanaman ideologi yang bersifat
indoktrinasi. Dengan demikian nilai yang bersifat ideologis harus mampu
membangun kesadaran siswa terhadap masa lalu bangsanya.
Kwalitas penulisan buku teks pelajaran
sejarah sangat ditentukan oleh kemampuan penulisnya. Buku teks pelajaran
sejarah yang berkembang saat ini umumnya ditulis oleh guru sejarah dan
dosen. Ada pula buku teks pelajaran sejarah ditulis oleh penulis yang
tidak memiliki latar belakang pendidikan sejarah. Latar belakang
pendidikan seorang penulis buku teks sangat penting bagi kwalitas buku.
Setidak-tidaknya ada dua hal utama kemampuan yang harus dimiliki oleh
seorang penulis, yaitu pertama kemampuan memahami nilai-nilai yang dapat
dgali dari sejarah dan kedua kemampuan pemahaman terhadap sejarah
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang memiliki kaidah-kaidah
akademik.
Buku teks pelajaran sejarah secara garis
besar bertema sejarah nasional. Sejarah nasional adalah sejarah suatu
bangsa. Muatan ideologi yang harus termuat dalam buku teks pelajaran
sejarah adalah ideologi atau nilai-nilai yang berkenaan dengan
kebangsaan. Dengan demikian nilai yang dikembangkan dalam buku teks
pelajaran sejarah merupakan nilai yang bersifat politik, karena
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Muatan politik
sangat dominan dalam historiografi buku teks pelajaran sejarah.
Peristiwa-peristiwa yang diuraikan dalam sejarah nasional Indonesia
adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan latar belakang, proses,
lahir dan berkembangnya Republik Indonesia.
Ideologisasi pada buku teks pelajaran
sejarah tidaklah harus berarti adanya politisasi atau kepentingan
politik yang bersifat subjektif dalam materi sejarah nasional.
Bagaimanakah ideologisasi buku teks pelajaran sejarah yang berpijak
dari studi kritis ?
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penulisan buku teks pelajaran sejarah dalam memadukan antara
kepentingan ideologi dan studi kritis :
- Berpijak dari realitas yang objektif
Realitas dalam sejarah adalah sumber
sejarah yang dikonstruksikan menjadi suatu historiografi. Struktur
pengetahuan sejarah berdasar pada historiografi. Sedangkan historiografi
dapat terstruktur menjadi suatu pengetahuan didasarkan pada fakta.
Fakta merupakan pengetahuan dasar sejarah (Leirisa, 1993 :2). Fakta atau
sumber sejarah yang digunakan dalam buku teks pelajaran sejarah
hendaknya menggunakan sumber primer atau berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang teruji. Indikator yang digunakan dalam menilai
objektifitas mengikuti kaidah-kaidah ilmiah dalam penelitian sejarah.
Objektifitas kebenaran ilmiah ini akan melatih siswa untuk mengenal,
memahami dan bahkan menguji terhadap sebuah kebenaran yang bersifat
ilmiah.
- Mengembangkan Interpretasi yang beragam
Penyusunan buku teks pelajaran sejarah
biasanya bertitik tolak dari kurikulum yang berlaku. Kurikulum merupakan
suatu dokumen yang lahir dari kebijakan politik pemerintah. Materi
pelajaran sejarah yang akan diuraikan dalam buku teks sudah tercantum
dalam kurikulum. Walaupun dalam dokumen baru sebatas pokok-pokok materi
yang harus dibahas, setidaknya penetapan materi pokok dalam kurikulum
sudah mencerminkan adanya interpretasi sejarah dalam versi pemerintah.
Untuk mengembangkan interpretasi yang beragam dapat dilakukan dua cara
yaitu pertama mengubah isi kurikulumnya yang memuat materi sejarah yang
beragam interpretasi tentang suatu peristiwa. Kedua memberikan otoritas
penulis sejarah untuk mengembangkan informasi tentang ada beberapa kasus
peristiwa sejarah dengan interpretasi yang beragam misalnya peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Pengembangan interpretasi yang beragam
diharapkan agar siswa mampu menanamkan berfikir analisis dan sintesis.
Selain itu nilai yang dapat dikembangkan adalah menanamkan sikap untuk
menerima perbedaan agar dalam diri siswa tertanam sikap toleransi dan
menghindari sikap fanatik serta ingin menang sendiri.
- Integrasi bangsa dalam proporsi materi
Sejarah nasional Indonesia adalah
sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, pembentukan
negara Republik Indonesia melalui suatu proses perjuangan yang panjang
sejak kedatangan penjajahan bangsa Barat hingga tercapainya kemerdekaan.
Peristiwa-peristiwa perjuangan terjadi hampir di seluruh wilayah yang
ada di Indonesia mulai dari masa penjajahan, kemerdekaan hingga masa
revolusi. Buku teks pelajaran sejarah yang ada saat ini belum memberikan
suatu porsi yang adil terhadap semua wilayah di Indonesia dalam peranan
sejarah perjuangan bangsa. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
baik pada masa penjahan hingga revolusi lebih banyak menceritakan yang
terjadi di Jawa. Oleh sebab itu dalam historigrafi buku teks pelajaran
sejarah perlu adanya revisi dengan menambah peristiwa-peristi yang
terjadi di daerah lainnya yang sangat berperan dalam sejarah perjuangan
bangsa.Untuk menulis hal yang demikian, penulis buku teks pelajaran
sejarah perlu membaca hasil-hasil penelitian sejarah lokal
daerah-daerah. Hasil-hasil penelitian ini sudah banyak dilakukan baik
dalam bentuk skripsi, tesis hingga disertasi. Seperti
pergolakan-pergolakan pada masa Revolusi, terjadi tidak hanya di Jawa
saja, tetapi terjadi pula di daerah lainnya. Bahkan di beberapa daerah,
gejolak revolusi memiliki peran tersendiri, yang berbeda dengan apa yang
terjadi di Jawa. Nilai yang dapat dikembangkan dengan penulisan sejarah
seperti ini adalah tertanamnya nilai integrasi pada diri siswa. Siswa
akan memahami bahwa Indonesia dibentuk tidak hanya oleh kelompok atau
daerah tertentu, akan tetapi Indonesia sebagai suatu negara dibentuk
hampir oleh seluruh rakyat yang berasal dari seluruh wilayah yang ada di
Indonesia. Selain itu, siswa akan mengenal nama-nama pahlawan atau
tokoh-tokoh pejuang dari daerah lainnya. Belajar dari peristiwa sejarah
akan memahami suatu panorama karakter mengenai perilaku atau tindakan
dari individu-individu dari peristiwa itu (Rowse, 1948 : 166).
Tindakan-tindakan individu tersebut akan menjadi pelajaran bagi siswa
tentang arti sebuah perjuangan.
- Pendekatan Tematik dan Struktural
Struktur penulisan buku teks pelajaran
sejarah yang ada sekarang pada umumnya lebih menguraikan sejarah sebagai
peristiwa dan bersifat kronologis. Selain itu, tema yang banyak
diuraikan lebih banyak tema politik. Penulisan sejarah yang baik yaitu
adanya keseimbangan antara naratif dan analisis, dan antara satu
pendekatan kronologis dengan topik atau tema (Marwick, 1992 : 242).
Sejarah naratif merupakan model penulisan yang lama dan lebih banyak
menulis peristiwa-peristiwa.Penulisan yang kritis adalah tulisan
orientasinya pada problema dan struktur. Historiografi buku teks
pelajaran sejarah hendaknya mengembangkan pula dengan pendekatan tematik
dan struktural. Pendekatan tematik yang dimaksud di sini adalah dalam
pembahasan materi sejarah pada suatu periode tertentu, diuraikan pula
aspek-aspek selain politik, misalnya aspek ekonomi, sosial, budaya dan
sebagainya. Uraian tentang tematik sangat berkaitan pula dengan
pendekatan struktural. Pendekatan struktural dalam sejarah merupakan
pengaruh dari konsep struktur yang ada dalam ilmu sosial. Model
pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh kelompok annales
di Perancis. Tujuan utama penggunaan pendekatan struktural adalah untuk
melihat perubahan sosial dalam sejarah. Penulisan sejarah dengan
pendekatan struktural setidaknya akan menghindari penulisan yang
semata-mata bersifat narasi. Struktur digunakan untuk mengorganisasi
data (Kuntowijoyo, 2008 : 59-61). Untuk melihat suatu perubahan sosial,
pendekatan struktur menggunakan konsep waktu yang berjangka yang
meliputi jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Jangka
panjang terjadi pada geografi yang kemudian membentuk struktur. Jangka
menengah terjadi pada ekonomi yang kemudian menciptakan konjungtur,
sedangkan jangka pendek terjadi pada politik yang kiemudian membentuk
peristiwa (Kuntowijoyo, 2008 : 62). Dalam pendekatan struktur yang
dilihat adalah struktur bukan orangnya, yaitu bagaimana memahami
masyarakat dengan konsepsi struktur (Burke, 2003 : 163). Untuk memahami
hal itu, penulisan sejarah biasanya menggunakan teori ilmu-ilmu sosial
dalam penjelasannya. Misalnya teori sosiologi dalam menjelaskan sejarah
akan melihat bagaimana struktur dan proses sosial yang terjadi di
masyarakat dalam situasi ruang dan waktu tertentu (Skocpol, 1989 : 1).
Sejarah dalam pendekatan struktur adalah sejarah masyarakat dengan
melihat bagaimana perubahan-perubahan sosial terjadi. Periodesasi dalam
penulisan buku teks pelajaran sejarah dapat diorganisir ke dalam
tema-tema misalnya tema ekonomi, sosial, politik, budaya dan tema-tema
lainnya. Perubahan-perubahan tersebut bisa dilihat dalam konteks sosial,
ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Pengorganisasian semacam ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi siswa secara kontekstual
terhadap fenomena sejarah. Misalnya pemahaman siswa terhadap periode
Sistem Tanam paksa tidak hanya sebatas berbicara mengenai aturan-aturan
Sistem Tanam Paksa dan pelaksanaannya yang penuh dengan pelanggaran dan
dampak-dampak yang timbul bagi bangsa Indonesia pada saat itu. Hal yang
harus dipahami bagaimana konsep-konsep sosiologi dan ekonomi dapat
memberikan gambaran struktur sosial masyarakat Indonesia pada saat itu
dan bagaimana perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Kemampuan
berfikir kritis dapat ditanamkan kepada siswa apabila pendekatan tematis
dan struktural digunakan dalam historiografi buku teks.
Kesimpulan
Historiografi buku teks pelajaran
sejarah merupakan bagian dari perkembangan historiografi Indonesia.
Keberadaan buku teks pelajaran sejarah memberikan sumbangsih yang sangat
besar bagai pembentukan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap sejarah
bangsanya atau membangun memori kolektif masyarakat. Intervensi politik
kekuasaan terhadap interpretasi penulisan buku teks pelajaran sejarah
menimbulkan kontreversi di masyarakat, ada sikap pro kontra terhadap
interpretasi peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Untuk memecahkan
masalah ini maka perlu adanya keterpaduan misi dalam penulisan buku teks
pelajaran sejarah yaitu misi yang bersifat ideologis, dan misi yang
harus memberikan studi kritis dalam memahami sejarah nasional Indonesia.
Dengan cara ini sejarah sebagai alat pendidikan dapat memenuhi harapan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, R. Mohammad,” “Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia”, dalam Soedjatmoko (1995), Historiografi Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta : Gramedia.
Burke, Peter, (1995), “Overture : The New History, its Past and its Future”, dalam Peter Burke, ed. (1995), New Perspective on Historical Writing, Cambridge : Polity Press.
Burke, Peter, (2003), Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Darmiasti, (2002), Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia Untuk Sekolah menengah Atas 1964-1984; Sejarah Demi Kekuasaan, Tesis, Jakarta : Universitas Indonesia.
Geldren, Robert Heine. (1992), Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, Jakarta : Rajawali Pers.
Hasan, S. Hamid. (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hobsbown, E.J. (1992), Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Jogyakarta : Tiara Wacana.
Kartodirdjo, Sartono et. al. (1977), Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta : Balai Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono et. al,(1982), Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, Jakarta : Gramedia.
Kuntowijoyo, (2003), Metodologi Sejarah, Jogyakarta : Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, (2008), Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Jogyakarta : Tiara Wacana.
Kepmendikbud, No. 0264/U/1985.
Leirisa, RZ, (1993), Sejarah Wilayah; Tinjauan Historiografi, Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Menuju Wilayah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Marwick, Athur. (1992), The Nature of History, London : Macmillan.
McCullagh, C Behan. (1998), The Truth of History, London : Routledge.
McGregore, Katharine E, (2008), Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia, Jogyakarta : Syarikat Indonesia.
Mulyana, Agus & Darmiasti . (2009), Historiografi Buku Teks dari Religio Magis Hingga Strukturis, Bandung : Refika Aditama.
Nugroho Notosusanto, ed. (1980), Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA Jilid 1, 2, dan 3, Jakarta : Depdikbud.
Nordholt, Henk Schulte, et. al. (2008), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta : Obor.
Permendiknas, 22/2006.
Rowse, AL. (1948), The Use of History, London : Hodder & Stoughton Limited.
Sjamsuddin, Helius. (2007), Metodologi Sejarah, Jogyakarta : Ombak.
Soebadio, Haryati,”Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang Ilmu”, dalam, Naskah dan Kita, Lembaran sastra, Nomor Khusus 12 Januari 1991, Depok : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Soedjatmoko (1995), Historiografi Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta : Gramedia.
Sukmadinata, Nana Syaodih, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sutherland, Heather,”Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, dalam Nordholt, Henk Schulte, et. al. (2008), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta : Obor.
Yamin, Moh,”Tjatur – Sila Chalduniah”, dalam, Himpunan Lengkap Kertas Kerja Seminar Sejarah Nasional Pertama 14-19 Desember 1957 Yogyakarta, PPIS-LIPI : Jakarta, 1976.
Widja, I Gede. (1991), Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, Bandung : Angkasa.
B. Internet :
http:/www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7759&coid=1&caid=34/13-04-2011
http://www.korantempo.com/korantempo...721,25.id.html/13-04-2011
http://en.wikipedia.org/wiki/Critical_thinking/25/04/2011