'Pernikahan' tanpa Agama: Pernikahan ala Barat

Oleh: Abdul Fatah, S.Ud.
MUQADDIMAH
Gugatan pelegalan nikah tanpa sesuai dengan agama yang dilayangkan tiga alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia kepada Mahkaman Konstitusi (MK) tentu akan mengancam sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.
Anbar Jayadi, salah satu pemohon, mengatakan, berdasarkan pasal tersebut, negara terkesan memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan. Pasal tersebut berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

NASIB PERNIKAHAN TANPA AGAMA
Negara-negara Barat secara konsensus memilih sekulerisme sebagai jalan hidupnya. Dengan paham ini berarti mereka memilih meninggalkan agama dalam mengatur kehidupannya, termasuk dalam pernikahan. Akibatnya, dunia barat dilanda sebuah gelombang besar dari masyarakatnya yang enggan menikah dan enggan pula membentuk keluarga. Kalaupun membentuk keluarga, pondasinya pun sangat rapuh sehingga banyak perceraian dimana-mana hanya disebabkan hal yang remeh.
Akibat perceraian yang sangat rentan ini, banyak perempuan di Barat enggan untuk memiliki anak yang pada konskwensinya tentu akan dibebankan kepada dirinya. Sekaligus juga, banyaknya perceraian tentunya akan berdampak pada psikologi anak tersebut. Maka tak perlu heran, ketika orang tua bercerai, maka anak-anaknya melampiaskannya pada pergaulan yang rusak atau bahkan masuk tindak kriminal. Akibat ini semua, dunia barat mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat kecil akibat banyaknya usia lanjut tapi angka kelahiran sangat minim.
Sekularisme yang berarti hedonis, oportunis, dan kebebasan; ketika dipakai, maka masyarakatnya pun akan memiliki perilaku hidup bebas dan meninggalkan peran tanggung jawab. Mereka lebih memilih kehidupan bebas seperti free sex daripada hidup berkeluarga dengan harus menanggung nafkah pasangan dan anak-anaknya.
Akibat sekulerisme tidak hanya itu saja. Makna pernikahan pun sudah bergeser. Pernikahan berarti hidup bersama atau berkumpulnya dua insan dalam satu rumah baik resmi ataupun tidak; laki-laki dengan perempuan ataupun sesamanya. Itulah makna pernikahan yang dipahami oleh bangsa barat.
Maka jangan heran ketika kita melihat pemain sepakbola semisal Messi, Ronaldo, Pique, Cesc Fabregas, Balotelli, atau lainnya memamerkan anaknya di lapangan hijau atau tempat umum padahal mereka belum terdengar menikah sebelumnya. Atau, jangan heran ketika presiden Amerika Barack Obama melegalkan pernikahan sesama jenis.
Belanda adalah salah satu negara pertama yang sejak tahun 2001 telah membolehkan pernikahan pasangan sejenis, dan memasukkannya dalam pernikahan yang legal secara undang-undang. Disusul pada Juni 2011 kota New York sebagai kota yang paling padat penduduknya di Amerika, menjadi wilayah keenam yang membolehkan pernikahan sejenis dalam undang-undang. Diikuti oleh Mexico, Inggris, Brazil, Kroasia, Chekoslowakia, Denmark, Finlandia, Prancis, Israel, Luxemburg, New Zealand, Slovenia, Switzerland, dan empat kota di Australia.
PENUTUP
Demikian itulah gambaran nasib pernikahan ‘tanpa’ agama. Semoga kita bisa merasakan nikmat kehidupan kita dalam naungan Islam setelah melihat gambaran kehidupan jahiliyah tersebut. Maka benar “man lam ya’rif al-jahiliyyah laa ya’rif al-islam”, barangsiapa yang belum mengenal kehidupan jahiliyah, maka dia tidak tahu (nikmatnya) Islam. Wallahu a’lam.
Share this with short URL: