Mengurai Fitnah Tajsim

Tajsim berarti "men-jism-kan", yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu "jism"? Ini titik rumitnya.

Makna Jism

Bagi ahli bahasa, jism adalah sesuatu yang berat dan padat. Oleh karenanya udara, roh atau lainnya yang sejenis tidaklah disebut sebagai jism. Diantara yang termasuk jism/jasad adalah tubuh manusia, dan lainnya yang berat dan padat.

Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.

Ada yang menggunakan istilah "jism" dalam pengertian "asy-syai" (sesuatu), dalam pengertian "al-maujud" (entitas), dalam pengertian "al-qaaim bin-nafs" (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian "al-musyaar ilaih" (sesuatu yang bisa ditunjuk).

Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian "ath-thawil al-`aridh al-`amiq" (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian "al-muhtamil lil-a`raadh" (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), "ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-ala wa-asfal" (entitas bersisi enam).

Dan, adapula yang menggunakan istilah "jism" ini adalah pengertian "al-muallaf minal ajzaa" (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian "al-jauhar maa a`raadhih" (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian "majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujammaah" (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).

Sikap Ulama terhadap Jism

Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya "al-maujuud"), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya "majmuu`atul a`raadh"), ada yang dipertentangkan (misalnya "al-musyaal ilaih"), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "jism", ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "bukan jism", dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai "jism" maupun "bukan jism".

Apakah Allah Swt itu Jism?

Jika ditilik lebih lanjut, ulama Asya’irah lebih memilih pendapat bahwa Allah bukanlah jism, yang tentunya dengan pengertian jism menurut ahli bahasa. 

Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyah. Seakan memperhatikan berbagai macam definisi tajsim yang dijelaskan di atas, Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat untuk tidak mentasbitkan dan tidak pula menafikan secara mutlah. Beliau menganggap lafal tajsim itu merupakan lafal yang muhtamil.

Bagaimana Maksud Ibnu Taimiyah?

Ok, mari kita perhatikan pertanyaan berikut.
Jika kamu ditanya, apakah Allah swt. itu jism, jawaban apakah yang kamu ungkapkan?

Tentu jawaban akan berbeda jika masing-masing kamu memiliki definisi yang berbeda tentang jism sebagaimana diuraikan di atas. Jika jism dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal ahlussunnah termasuk juga Asya’irah meyakini bahwa Allah swt. itu bisa dilihat di Surga. Sedangkan sesuatu yang dilihat dengan mata itu berarti sesuatu yang ditunjuki indera. Jika dikatakan Allah itu jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa bahwa tubuh dan anggota-anggotanya itu jism?

Tentu untuk menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama menjadi sulit ketika masing-masing memiliki definisi jism yang berbeda-beda. Maka, dari sini menarik apa yang diutarakan Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Ibnu Taimiyah berkata.

أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى

Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.

Dalam tempat lain, beliau berkata:

وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,فصار من البدع المذمومة .الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى

Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.

Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum muslimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.

Kedua: maknanya yang bisa jadi hak maupun batil. Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebatilan. Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Jism

Menurut Ibnu Taimiyah, lafal jism adalah lafal yang muhtamil serta bahasan yang muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan mutakallimin. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menghimbau untuk menghindari pembahasan ini. Namun jika tetap ditanya tentang ini, Ibnu Taimiyah memberi jalan keluar dalam masalah ini sebagai berikut. 
SELENGKAPNYA DISINI

Jawaban Ibnu Taimiyah tentang 'Tajsim' Allah

Tajsim berarti "men-jism-kan", yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu "jism"? Ini titik rumitnya.

Makna Jism

Bagi ahli bahasa, jism adalah sesuatu yang berat dan padat. Oleh karenanya udara, roh atau lainnya yang sejenis tidaklah disebut sebagai jism. Diantara yang termasuk jism/jasad adalah tubuh manusia, dan lainnya yang berat dan padat.

Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.

Ada yang menggunakan istilah "jism" dalam pengertian "asy-syai" (sesuatu), dalam pengertian "al-maujud" (entitas), dalam pengertian "al-qaaim bin-nafs" (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian "al-musyaar ilaih" (sesuatu yang bisa ditunjuk).

Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian "ath-thawil al-`aridh al-`amiq" (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian "al-muhtamil lil-a`raadh" (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), "ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-ala wa-asfal" (entitas bersisi enam).

Dan, adapula yang menggunakan istilah "jism" ini adalah pengertian "al-muallaf minal ajzaa" (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian "al-jauhar maa a`raadhih" (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian "majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujammaah" (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).

Sikap Ulama terhadap Jism

Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya "al-maujuud"), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya "majmuu`atul a`raadh"), ada yang dipertentangkan (misalnya "al-musyaal ilaih"), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "jism", ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "bukan jism", dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai "jism" maupun "bukan jism".

Apakah Allah Swt itu Jism?

Jika ditilik lebih lanjut, ulama Asya’irah lebih memilih pendapat bahwa Allah bukanlah jism, yang tentunya dengan pengertian jism menurut ahli bahasa. 

Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyah. Seakan memperhatikan berbagai macam definisi tajsim yang dijelaskan di atas, Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat untuk tidak mentasbitkan dan tidak pula menafikan secara mutlah. Beliau menganggap lafal tajsim itu merupakan lafal yang muhtamil.

Bagaimana Maksud Ibnu Taimiyah?

Ok, mari kita perhatikan pertanyaan berikut.
Jika kamu ditanya, apakah Allah swt. itu jism, jawaban apakah yang kamu ungkapkan?

Tentu jawaban akan berbeda jika masing-masing kamu memiliki definisi yang berbeda tentang jism sebagaimana diuraikan di atas. Jika jism dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal ahlussunnah termasuk juga Asya’irah meyakini bahwa Allah swt. itu bisa dilihat di Surga. Sedangkan sesuatu yang dilihat dengan mata itu berarti sesuatu yang ditunjuki indera. Jika dikatakan Allah itu jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa bahwa tubuh dan anggota-anggotanya itu jism?

Tentu untuk menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama menjadi sulit ketika masing-masing memiliki definisi jism yang berbeda-beda. Maka, dari sini menarik apa yang diutarakan Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Ibnu Taimiyah berkata.

أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى

Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.

Dalam tempat lain, beliau berkata:

وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,فصار من البدع المذمومة .الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى

Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.

Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum muslimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.

Kedua: maknanya yang bisa jadi hak maupun batil. Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebatilan. Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Jism

Menurut Ibnu Taimiyah, lafal jism adalah lafal yang muhtamil serta bahasan yang muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan mutakallimin. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menghimbau untuk menghindari pembahasan ini. Namun jika tetap ditanya tentang ini, Ibnu Taimiyah memberi jalan keluar dalam masalah ini sebagai berikut. 
SELENGKAPNYA DISINI

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang 'Tajsim' Allah

Tajsim berarti "men-jism-kan", yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu "jism"? Ini titik rumitnya.

Makna Jism

Bagi ahli bahasa, jism adalah sesuatu yang berat dan padat. Oleh karenanya udara, roh atau lainnya yang sejenis tidaklah disebut sebagai jism. Diantara yang termasuk jism/jasad adalah tubuh manusia, dan lainnya yang berat dan padat.

Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.

Ada yang menggunakan istilah "jism" dalam pengertian "asy-syai" (sesuatu), dalam pengertian "al-maujud" (entitas), dalam pengertian "al-qaaim bin-nafs" (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian "al-musyaar ilaih" (sesuatu yang bisa ditunjuk).

Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian "ath-thawil al-`aridh al-`amiq" (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian "al-muhtamil lil-a`raadh" (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), "ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-ala wa-asfal" (entitas bersisi enam).

Dan, adapula yang menggunakan istilah "jism" ini adalah pengertian "al-muallaf minal ajzaa" (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian "al-jauhar maa a`raadhih" (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian "majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujammaah" (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).

Sikap Ulama terhadap Jism

Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya "al-maujuud"), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya "majmuu`atul a`raadh"), ada yang dipertentangkan (misalnya "al-musyaal ilaih"), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "jism", ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai "bukan jism", dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai "jism" maupun "bukan jism".

Apakah Allah Swt itu Jism?

Jika ditilik lebih lanjut, ulama Asya’irah lebih memilih pendapat bahwa Allah bukanlah jism, yang tentunya dengan pengertian jism menurut ahli bahasa. 

Sikap yang berbeda ditunjukkan Ibnu Taimiyah. Seakan memperhatikan berbagai macam definisi tajsim yang dijelaskan di atas, Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat untuk tidak mentasbitkan dan tidak pula menafikan secara mutlah. Beliau menganggap lafal tajsim itu merupakan lafal yang muhtamil.

Bagaimana Maksud Ibnu Taimiyah?

Ok, mari kita perhatikan pertanyaan berikut.
Jika kamu ditanya, apakah Allah swt. itu jism, jawaban apakah yang kamu ungkapkan?

Tentu jawaban akan berbeda jika masing-masing kamu memiliki definisi yang berbeda tentang jism sebagaimana diuraikan di atas. Jika jism dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal ahlussunnah termasuk juga Asya’irah meyakini bahwa Allah swt. itu bisa dilihat di Surga. Sedangkan sesuatu yang dilihat dengan mata itu berarti sesuatu yang ditunjuki indera. Jika dikatakan Allah itu jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa bahwa tubuh dan anggota-anggotanya itu jism?

Tentu untuk menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama menjadi sulit ketika masing-masing memiliki definisi jism yang berbeda-beda. Maka, dari sini menarik apa yang diutarakan Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Ibnu Taimiyah berkata.

أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى

Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebid’ahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.

Dalam tempat lain, beliau berkata:

وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,فصار من البدع المذمومة .الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى

Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.

Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum muslimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.

Kedua: maknanya yang bisa jadi hak maupun batil. Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebatilan. Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Jism

Menurut Ibnu Taimiyah, lafal jism adalah lafal yang muhtamil serta bahasan yang muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan mutakallimin. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah menghimbau untuk menghindari pembahasan ini. Namun jika tetap ditanya tentang ini, Ibnu Taimiyah memberi jalan keluar dalam masalah ini sebagai berikut. 
SELENGKAPNYA DISINI