NU dan Islam Nusantara

Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang akan dihelat di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus, membawa tema penting, yakni “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Tema ini penting di tengah tercerabutnya identitas keislaman Indonesia yang menggiring sebagian Muslim menempuh lajur radikalisme.
Di kalangan nahdliyin, tema Islam Nusantara menandai perkembangan terkini dari pemikiran NU. Dulu pada zaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kita mengenal ide pribumisasi Islam. Intinya: Islam sebagai agama universal harus dibumikan ke dalam budaya lokal. Ini dilakukan agar Muslim Indonesia bisa beragama sesuai dengan budaya Indonesia.
“Kita ambil nilai Islam, kita saring budaya Arab-nya”, demikian Gus Dur menandaskan.
Islam Indonesia
Dari sini lahirlah istilah Islam Indonesia. Maksudnya tentu saja jelas: Islam yang berbudaya Indonesia. Dalam praktik diskursifnya, Islam Indonesia ditempatkan dalam konteks keindonesiaan modern, yang bernegara-bangsa, berpancasila, dan demokratis. Ini digunakan oleh nahdliyin sebagai norma dasar yang memayungi geliat pemikiran dan gerakan sosialnya. Ketika terjadi “bom intelektual” NU pada akhir 1990-an, gagasan Islam Indonesia diradikalkan dalam rangka sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisme.