Hukum Bom Bunuh Diri menurut Islam

oleh: Abdul Wahab, M.HI 


I.       Pendahuluan
Perjuangan tidak pernah mengenal kata akhir, namun cara berjuang tiap umat seringkali mengalami perubahan searah dengan perubahan sarana-sarana perang. Pada tahun-tahun terakhir, sering terdengar upaya beberapa kelompok muslim yang melakukan bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai suicide bombing dan human bombing atau bom manusia. Hemat penulis, istilah yang lebih tepat untuk ini adalah bom jihad—untuk membedakannya dari “bunuh diri yang memakai bom”—tapi ada baiknya penulis memakai istilah bom bunuh diri karena lebih banyak digunakan, dengan cataan bahwa: istilah “bom bunuh diri” dalam makalah ini adalah dimaksud untuk merujuk pada “bom jihad.” Secara umum ada dua reaksi para ulama dalam menyikapinya, sebagian melarang dan sebagian lagi memuji. Kedua kelompok tersebut sama-sama menyertakan argumen-argumennya, baik naqly maupun aqly.
Pro kontra inilah yang mendorong penulis untuk memilih tema hukum bom bunuh diri dalam fiqih Islam. Kejelasan hukum syara’ sangat dibutuhkan dalam masalah yang amat krusial ini. Ini dikarenakan perbedaan yang ada cukup tajam dan mengandung berbagai implikasinya baik di dunia maupun di akhirat. Bagi mereka yang menganggap aksi bom manusia sebagai aksi bunuh diri (‘amaliyat intihariyah), maka implikasinya kepada para pelakunya ialah tidak diberlakukan hukum-hukum mati syahid, namun dipandang sebagai orang hina karena berputus asa menghadapi kesulitan hidup. Di akhirat, pelakunya dianggap akan masuk neraka, karena telah bunuh diri. Sedang bagi mereka yang menganggap aksi bom bunuh diri sebagai aksi mati syahid (‘amaliyat istisyhadiyah), maka implikasinya kepada para pelakunya adalah diberlakukan hukum-hukum mati syahid. Dia dianggap sebagai pahlawan dan teladan keberanian yang patut dicontoh dan di akhirat insya Allah akan masuk surga.

Makalah ini dengan segala keterbatasannya mencoba menjelaskan pendapat para ulama, baik yang melarang maupun yang membolehkan aksi bom bunuh diri. Akan dijelaskan juga dalil-dalil dari masing-masing pendapat tersebut dan disertai analisis tarjih untuk menjelaskan posisi penulis dalam masalah ini.
II.     Hukum bom bunuh diri dalam islam
A.   Definisi
Bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai bom manusia (human bombing) menurut Nawaf Hail Takruri adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.[1]Adapun menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin.[2]
Bom bunuh diri dalam makalah ini tidaklah sama dengan sekedar bunuh diri biasa yang dilatarbelakangi keputusasaan, tetapi kegiatan bunuh diri yang dilatarbelakangi keyakinan oleh pelaku bahwa perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk memperjuangkan kebenaran. Secara garis besar terdapat dua pendapat ulama dalam masalah aksi bom manusia tersebut, yaitu sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan
B.   Pendapat yang memperbolehkan
Di antara ulama masa kini yang membolehkan bom bunuh diri adalah[3]:
1.      Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
2.      Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
3.      Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua Jurusan Theologi dan Perbandingan Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
4.      Dr. Ali Ash-Shawi (Mantan Ketua Jurusan Fiqih dan Perundang-undangan Fakultas Syariah Universitas Yordania).
5.      Dr. Hamam Said (Dosen Fakultas Syariah Universitas Yordania dan anggota Parlemen Yordania).
6.      Dr. Agil An-Nisyami (Dekan Fakultas Syariah Universitas Kuwait).
7.      Dr. Abdur Raziq Asy-Syaiji (Guru Besar Fakultas Syariah Univesitas Kuwait).
8.      Syaikh Qurra Asy-Syam Asy-Syaikh Muhammad Karim Rajih (ulama Syiria).
9.      Syaikhul Azhar (Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi).
10.  Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi (ulama Mesir).
11.  Fathi Yakan (aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin).
12.  Dr. Syaraf Al-Qadah (ulama Yordania).
13.  Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (ulama Qatar).
14.  Dr. Muhammad Khair Haikal (aktivis dakwah Hizbut Tahrir).
15.  Syaikh Abdullah bin Hamid (Mantan Hakim Agung Makkah Al-Mukarramah).
Adapun hujjah bagi kelompok yang memperbolehkan ini antara lain:
1.      Firman Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآَنِ[4]
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri, dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an.”
Point dari dalil ayat ini adalah, bahwa perang di jalan Allah mempunyai resiko besar berupa kematian. Padahal kematian ini merupakan sesuatu yang kemungkinan besar atau pasti akan terjadi pada aksi bom manusia. Akan tetapi meski demikian, Allah SWT tetap memerintahkannya dan memberikan pahala surga bagi yang melaksanakannya. Perintah Allah SWT ini menunjukkan izin dari Allah untuk melaksanakannya.[5]
2.      Firman Allah SWT :
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا[6]
“Barang siapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur (terbunuh) atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.”
Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah SWT menyamakan pahala orang yang gugur dengan pahala orang yang mampu mengalahkan musuh karena membela agama Allah. Dan orang yang melakukan aksi bom manusia, dalam hal ini termasuk dalam kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi, bukan termasuk orang yang bunuh diri. Sebab andaikata termasuk orang yang bunuh diri, Allah tidak akan memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan memasukkannya ke dalam neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi SAW.[7]
3.      Firman Allah SWT :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ[8]
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”.
Ayat ini tidak melarang aktivitas perang di jalan Allah yang dapat membuat diri sendiri terbunuh. Atau dengan kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam itu. Dan aksi bom manusia termasuk aktivitas perang yang dapat membuat pelakunya terbunuh. Pemahaman ini didasarkan pada penjelasan shahabat bernama Abu Ayyub Al-Anshari yang mengoreksi pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut, yang dipahami sebagai larangan mengorbankan diri dalam peperangan. 23[9]
Ibn Kathir dalam tafsirnya mengomentari ayat tersebut di atas dengan menukil sebuah hadith berikut:
قال رجل للبراء بن عازب إن حملت على العدو وحدي فقتلوني أكنت ألقيت بيدي إلى التهلكة قال لا قال الله لرسوله ( فقاتل في سبيل الله لا تكلف إلا نفسك ) وإنما هذه في النفقة. (رواه الحاكم) [10]
“Seorang laki-laki berkata pada Barra’bin ‘Azib: jika aku menyerang sendirian pada musuhku kemudian mereka membunuhku, apakah aku telah “menyebabkan diriku celaka”, Dia berkata: “tidak, Allah berfirman pada rasulNya: (maka berperanglah di jalan Allah, tidaklah kau dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri) sesungguhnya ayat ini turun dalam hal nafkah”
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menceritakan bahwa Abu Ayyub Al-Anshari berkata bahwa “menyebabkan diri celaka” yang dimaksud dalam ayat adalah meninggalkan jihad di jalan Allah. Dan yang dimaksud dengan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan adalah kesibukan kami mengurus harta dan meninggalkan jihad. [11]
Al-Qadah menyimpulkan, bahwa dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom manusia termasuk jenis aktivitas seperti ini. [12]
4.      Firman Allah SWT :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ [13]
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya namun Allah mengetahuinya.”
Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa aksi-aksi bom manusia termasuk dalam bentuk jihad yang paling besar. Aksi ini termasuk dalam aksi-aksi teror (irhab) sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.26
5.      Hadits Nabi SAW sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُفْرِدَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي سَبْعَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ فَلَمَّارَهِقُوهُ قَالَ مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ رَهِقُوهُ أَيْضًا فَقَالَ مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قُتِلَ السَّبْعَةُ [14]
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati Nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan Rasulullah bersabda lagi, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh orang Anshar tersebut terbunuh.”
Ketika Nabi SAW mengatakan, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga” adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan terbunuh di jalan Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan. Peristiwa ini menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri dalam perang—seperti halnya aksi bom bunuh diri—dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.
Dasar-dasar tersebut di atas menjadi landasan bagi ulama yang memperbolehkan bom bunuh diri. Secara ringkas, mereka menganggap aksi bom bunuh diri tidaklah sama dengan bunuh diri yang biasa; bom bunuh diri dalam pandangan mereka merupakan wujud pengorbanan seorang muslim bagi agamanya, seperti halnya yang terjadi dalam perang-perang melawan orang kafir yang jelas-jelas nyawa seorang muslim dipertaruhkan, bahkan dalam banyak perang yang jumlah muslimnya jauh lebih sedikit dari jumlah musuh, menurut perhitungan rasional dapat dikatakan bahwa kaum muslim mencoba bunuh diri dengan melawan pasukan yang berjumlah jauh lebih besar.
C.   Pendapat yang mengharamkan
Sementara itu ulama kontemporer yang mengharamkan aksi bom manusia antara lain:
1.      Syaikh Nashiruddin Al-Albani (ulama Arab Saudi).
2.      Syaikh Shaleh Al-Utsaimin (ulama Arab Saudi).
3.      Syaikh Hasan Ayyub[15].
4.      Hai’ah Kibarul Ulama (Majelis Ulama Senior Arab Saudi) yang diketuai oleh ‘Abdul-Aziz bin Abdullaah bin Muhammad Aal ash-Shaykh yang beranggotakan 16 ulama terkemuka seperti Salih bin Muhammad al-Lahaidaan, Abdullah bin Sulaiman al-Muni’, Abdullah bin Abdurahman al-Ghudayan dan lain-lain.[16]
5.      Majelis Ulama Indonesia (MUI).[17]
Alasan-alasan kelompok yang mengharamkan antara lain:
1.      Sabda Rasulullah saw tentang bunuh diri dalam beragam hadith yang redaksinya beragam dan telah tersebar luas. Di antaranya adalah:
ومن قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة [18]
“Barangsiapa membunuh dirinya sendiri di dunia dengan cara apapun, maka Allah akan menghukum dia dengan hal yang sama (yang dia lakukan yang menyebabkan dia terbunuh) di hari kiamat”
2.      Kegiatan ini mengandung sifat membunuh orang-orang yang hidup, yang syari’ah Islam melindunginya.
3.      Kegiatan ini mengakibatkan kerusakan di bumi, mengandung unsur perusakan harta benda dan apa-apa yang dimiliki, sementara hal itu dilindungi.[19]
4.      Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputus-asaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb).[20]
5.      Bom bunuh diri menodai citra islam.
D.   Tarjih terhadap kedua pendapat
Dalam menentukan kuat tidaknya suatu fatwa, terlebih dulu kita harus memahami secara betul objek fatwa dengan baik. Thaha Jabir Al-Alwani ketika menyebutkan pengertian fiqih, menyatakan bahwa fiqih adalah adalah pengetahuan seorang faqih (ahli fiqih) terhadap hukum suatu fakta (al-waqi’ah) yang diambil dari dalil-dalil yang rinci dan parsial yang telah ditetapkan Asy Syari’ (Allah) untuk menunjukkan hukum-hukumnya.[21]Definisi ini mengisyaratkan satu hal penting yang harus dimiliki seorang faqih, yaitu pengetahuan tentang fakta permasalahan (al-waqi’ah). Maka dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi, di antara sebab-sebab kesalahan fatwa adalah ketidakpahaman tentang masalah yang ditanyakan, sehingga keliru menerapkan nash-nash syara’ yang dimaksud dengan kejadian yang sebenarnya.[22]
Dalam kasus bom bunuh diri ini penulis melihat adanya kesalahan analisis yang dilakukan oleh pihak yang mengharamkan, yaitu penyamaan antara bom bunuh diri dengan tindakan bunuh diri. Ada beberapa perbedaan antara bunuh diri dan bom bunuh diri yang menurut hemat penulis dapat menyebabkan berbedanya hukum antara keduanya. Berikut ini adalah perbedaan-perbedaan tersebut:
Pertama, Motivasi. Motivasi orang yang melakukan aksi bom manusia adalah keinginan untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Sedangkan orang yang bunuh diri, jelas tidak punya keinginan untuk menegakkan kalimat Allah, melainkan ingin mengakhiri hidup karena berbagai kesulitan duniawi yang tidak sanggup lagi dipikul, seperti penyakit berat, kegagalan cinta, kebangkrutan usaha, kehancuran rumah tangga, dililit utang, dan sebagainya.
Kedua, Akibat di akhirat. Orang yang mati syahid mengorbankan dirinya dengan cara aksi bom manusia, buahnya adalah surga, sebagaimana janji Allah dalam banyak ayat Al Quran. Sedangkan akibat di akhirat bagi orang yang bunuh diri, jelas bukan surga, karena yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya adalah adzab di neraka, yaitu akan disiksa di neraka dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia.
Ketiga, Dampak duniawi. Orang yang melakukan aksi bom manusia dalam rangka jihad, dampaknya adalah dapat mengguncang musuh, menanamkan ketakutan pada hati musuh, atau melemahkan mental mereka dalam peperangan. Ini sebagaimana terjadi di Lebanon, Sudan, Palestina, dan sebagainya. Sedang orang yang bunuh diri dampaknya hanyalah menimbulkan kesedihan dan kepedihan keluarga, dan sama sekali tidak ada dampak terhadap perlawanan kepada musuh.
Dari perbedaan-perbedaan tersebut, penulis sependapat dengan ulama-ulama yang menghalalkan aksi bom bunuh diri. Selain itu, dalam sebuah hadith panjang riwayat Muslim tentang kisah ashab al-ukhdud penulis dapati kisah yang cocok dengan bahasan kita kali ini, berikut ini sebagian kutipan dari kisah panjang tersebut:
فقال للملك إنك لست بقاتلي حتى تفعل ما آمرك به قال وما هو قال تجمع الناس في صعيد واحد وتصلبني على جذع ثم خذ سهما من كنانتي ثم ضع السهم في كبد القوس ثم قل باسم الله رب الغلام ثم ارمني فإنك إذا فعلت ذلك قتلتني فجمع الناس في صعيد واحد وصلبه على جذع ثم أخذ سهما من كنانته ثم وضع السهم في كبد القوس ثم قال باسم الله رب الغلام ثم رماه فوقع السهم في صدغه فوضع يده في صدغه في موضع السهم فمات فقال الناس آمنا برب الغلام آمنا برب الغلام آمنا برب الغلام فأتى الملك فقيل له أرأيت ما كنت تحذر قد والله نزل بك حذرك قد آمن الناس[23]
“Kemudian pemuda itu berkata kepada raja “Engkau takkan dapat membunuhku kecuali jika engkau menurut perintahku maka dengan itu engkau akan dapat membunuhku” Raja bertanya: “Apakah perintahmu?” Jawab pemuda: “Kau kumpulkan semua orang di suatu lapangan, lalu engkau gantung aku di atas tiang, lalu kau ambil anak panah milikku ini dan kau letakkan di busur panah dan membaca: Bismillahi Rabbil ghulaam (Dengan nama Allah Tuhan pemuda ini), kemudian anda lepaskan anak panah itu, maka dengan itu anda dapat membunuhku”. Maka semua usul pemuda itu dilaksanakan oleh raja, dan ketika anak panah telah mengenai pelipis pemuda itu ia mengusap dengan tangannya dan langsung mati, maka semua orang yang hadir berkata: “Aamannaa birrabil ghulaam (Kami beriman kepada Tuhannya pemuda itu)”. Sesudah itu ada orang mendatangi raja dan berkata: “tidakkah anda melihat apa yang anda takutkan? Demi Allah, ketakutan anda telah datang; orang-orang sudah beriman”.
Dalam kisah di atas, pemuda tersebut menunjukkan cara kematiannya dan memerintahkan raja untuk membunuhnya. Hal ini adalah peristiwa bunuh diri, namun bukan bunuh diri yang timbul karena keputusasaan atau hal-hal rendah lainnya, tetapi bunuh diri yang dimotivasi oleh keinginan menyadarkan seorang raja angkuh dan seluruh rakyatnya akan kebenaran islam. Kematian satu pemuda muslim tadi ternyata mampu menggugah masyarakat banyak sehingga mereka masuk islam. Dalam hadith tersebut, Nabi Muhammad memberikan pujian bagi pengorbanan pemuda syahid tersebut meskipun dia bisa dibilang bunuh diri.
Hukum boleh yang penulis pilih ini adalah hukum asal yang diperuntukkan bagi keadaan-keadaan perang yang korbannya dan untung ruginya telah diperhitungkan akan menguntungkan pihak islam. Dalam beberapa kasus bom bunuh diri secara khusus, bom bunuh diri dapat saja haram hukumnya, semisal bila dilakukan di tempat-tempat yang justeru akan menimbulkan lebih banyak korban muslim, atau dilakukan dengan melampaui batas sehingga mencoreng citra islam yang konsekuensinya akan fatal terhadap perjuangan dakwah secara umum serta berpotensi terjadinya balasan yang lebih besar di tempat-tempat minoritas muslim yang tidak dapat kita bantu.
Pada beberapa kasus bom bunuh diri, juga seringkali yang menjadi sasaran adalah warga sipil yang tidak mengancam umat muslim seperti pada kasus-kasus di Indonesia. Tak heran bila kemudian MUI sebagai pemegang otoritas fatwa kemudian mengharamkan bom bunuh diri. Pada kasus seperti ini, bom bunuh diri haram dilakukan karena meskipun negara Indonesia bukan merupakan negara muslim, namun bukan berarti warga non-muslim disamakan dengan kafir harby (kafir yang melakukan peperangan dengan orang islam) yang halal darahnya. . Menurut hemat penulis status mereka disamakan dengan status kafir mu’ahid (kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslim) yang harus dilindungi. Rasulullah bersabda:
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما  [24]
Barang siapa yang membunuh seorang kafir mu’ahid, maka dia tidak akan mencium harum surga meskipun harumya dapat dirasakan dari jarak perjalanan 40 tahun.
Keharaman yang penulis maksud di atas adalah keharaman yang bersifat kasuistik yang dipengaruhi faktor luar. Adapun hukum bom bunuh diri sebagai salah satu model jihad menurut hukum asalnya adalah diperbolehkan, bahkan terpuji.
III.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
A.  Bom bunuh diri tidaklah sama dengan bunuh diri
B.  Pihak-pihak yang mengharamkannya didasari pada anggapan bahwa bom bunuh diri adalah sama saja dengan bunuh diri
C.  Hukum asal bom bunuh diri (dalam arti bom jihad) adalah boleh, bahkan terpuji, namun dapat berubah menjadi haram bila dilakukan dengan cara melampaui batas atau justru dapat merugikan umat islam secara umum.
Daftar Pustaka:
Fayyadh, Thaha Jabir Al-Alwani, Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam, Washington : Al-Ma’had Al-’Alami li Al-Fikr Al-Islami, 1987.
Isma’il Bin Umar bin Kathir, Tafsir Ibn Kathir, Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
Muhammad bin Ahmad, Tafsir al-Qurtuby, Kairo: Dar-Sha’ab, 1372 H.
Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Sahīh al-Bukhāry, Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987.
Muslim bin Hujjaj al-Naysabury, SahīhMuslim, Beirut: Dār Ihyā’i al-Turāth al-‘Arabī, tt.
Al Qadah, Muhammad Tha’mah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam, Banding : Pustaka Umat, 2002.
Takruri, Nawaf Hail, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid Al-’Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi, Jakarta :P ustaka Al-Kautsar, 2002.
Yusuf Al-Qaradhawi, Ikut Ulama Yang Mana ? Etika Berfatwa dan Mufti-Mufti Masa Kini Al-Fatwa Baina Al-Indhibath wa At-Tasayyub, Surabaya: Pustaka Progressif, 1994.

[1] Nawaf Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid (Al-’Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi), (Jakarta :P ustaka Al-Kautsar, 2002), 2.
[2] Muhammad Tha’mah Al Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam), (Banding : Pustaka Umat, 2002), 17.
[3] ibid, 49.
[4] QS At-Taubah : 111
[5] Al Qadah, , 23.
[6] QS An-Nisaa` :74
[7] Al Qadah, 24.
[8] QS Al Baqarah: 195
[9] Al Qadah, 25.
[10] Isma’il Bin Umar bin Kathir, Tafsir Ibn Kathir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), I, 230.
[11] Muhammad bin Ahmad, Tafsir al-Qurtuby, (Kairo: Dar-Sha’ab, 1372 H), II, 361
[12] Al Qadah, op.cit., hal. 26
[13] QS al-Anfal: 60
[14] Muslim bin Hujjaj al-Naysabury, SahīhMuslim, (Beirut: Dār Ihyā’i al-Turāth al-‘Arabī, tt), IX, 268.
[15] Al Qadah, 49.
[18] Muslim, I, 104
[21] Thaha Jabir Fayyadh Al-Alwani, Adab Al-Ikhtilaf fi Al-Islam, (Washington : Al-Ma’had Al-’Alami li Al-Fikr Al-Islami, 1987), 104.
[22] Yusuf Al-Qaradhawi, Ikut Ulama Yang Mana ? Etika Berfatwa dan Mufti-Mufti Masa Kini (Al-Fatwa Baina Al-Indhibath wa At-Tasayyub), (Surabaya: Pustaka Progressif,1994), 72.
[23] Muslim, IV, 2300.
[24] Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Sahīh al-Bukhāry, (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987), III, 1155.
(sumber: http://situswahab.wordpress.com)
Share this with short URL: